Pages

SI PUTIH TERBIAS

Ehm… sebelumnya izinkan dulu saya memperkenalkan diri. Mungkin ada yang berpendapat bahwa bagian ini benar-benar nggak penting, apalagi bagi yang sudah tau dan mengenal siapa saya. Tapi, bagi saya ini penting karena jika suatu hari ada seseorang yang membaca tulisan ini, dia akan tau bahwa tulisan yang ditulis berdasarkan kisah nyata ini memang ditulis oleh seseorang yang ternama (baca: memiliki nama). Saya adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang sekarang sedang menempuh pendidikan di bangku SMA kelas 11 progam IPA.
Sejak aku memiliki cap sebagai seorang anak SMA, aku tak pernah menyangka bahwa masa-masa SMA-ku akan seperti sekarang ini. Bergabung dalam organisasi kerohanian Islam (Rohis), menjadi bagian dari redaksi majalah sekolah, memiliki sahabat-sahabat yang begitu unik dan asyik, mengenal apa itu mentoring, dan masih banyak lagi. Dari hal-hal tadi, aku benar-benar membenarkan perkataan setiap orang yang mengatakan bahwa masa SMA adalah masa terindah.
Sebelumnya, ketika aku masih menjadi anak SMP, aku menyadari bahwa minatku dalam mengenal, memahami, meresapi dan menelaah ilmu-ilmu agama masih kabur-kabur. Bahkan pernah aku mengabaikan peringatan yang pernah diteriakkan sendiri oleh hatiku. Hingga akhirnya dengan tanganku sendiri aku membunuh diriku. tapi, bukan berarti semua masa-masa pahit itu akan selalu terkenang sebagai sebuah kenangan pahit. Karena masa yang lalu adalah sejarah dan dalam sejarah selalu terselip hikmah dan pelajaran yang berharga untuk masa depan. Ya, memang tak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Baiknya menyisir pelajaran yang terselip di dalamnya.
Perubahan dalam diriku kurasakan semenjak aku memutuskan untuk bergabung dalam Rohis. Dari situlah, aku memiliki banyak cermin untuk diriku. Dan cermin-cermin itu adalah sahabat-sahabatku yang juga sebagai para aktivis dakwah.
Daru Abu Musa r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalihah dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau membeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Ya, aku benar-benar mengalami sendiri kebenaran dari perkataan Rasulullah. Dan dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut sangatlah membawa perubahan besar dalam diriku. Juga menjadi salah satu jalanku untuk membahagiakan kedua orang tuaku.
Setelah aku bergabung dalam Rohis, benih-benih cinta mulai tumbuh dalam diriku. Hey! Jangan berpikiran negatif dulu! Yang kumaksud dari benih-benih itu adalah benih-benih kecintaanku terhadap agamaku. Hingga aku merasa begitu bangga dan beruntung menjadi seorang muslim. Apalagi ditambah dengan kegiatanku mengikuti mentoring. Dari mentoring itulah, ilmu agama yang kupegang terus bertambah.
Ah, bicara soal mentoring, aku jadi ingat sesuatu dan aku ingin berkata jujur. Sebelumnya aku belum pernah mengutarakan secara langsung kepada mentorku, Mbak S-T, juga kepada sahabat-sahabatku di mentoring. Entah kenapa. Dan mungkin aku tak akan pernah mengutarakan kejujuran ini jika saja Mbak S-T tidak memberi kami tugas menulis karangan ini. Jadi, setelah lama aku mengenal Mbak S-T, aku merasa Mbak S-T mirip dengan sahabatku di SMP. Silakan tertawa kalau memang lucu! Dari segi wajah mereka memang tak sama, tapi dari segi sikap mereka cukup mirip. Entah, sudah berapa banyak orang dari luar kabupaten Gunungkidul yang sudah kuanggap mirip dengan orang-orang yang kukenal di Gunungkidul. Kemiripan mereka (Mbak S-T dan sahabatku) yang benar-benar kugarisbawahi bahkan kutandai, adalah mereka bisa “menggila”. Heheh… #dame, dame…#
Dari mentoring, aku banyak mendapat pelajaran. Selain ilmu yang dibagikan Mbak S-T, juga kisah-kisah dari sahabat-sahabatku di mentoring menjadi sebuah pelajaran bagiku. Berbagi pengalaman juga menjadi salah satu hal terseru ketika mentoring berlangsung. Apalagi, jika saraf “gila” mereka (aku juga) mulai bekerja. Selaan-selaan lucu dan bahkan garing pun menjadi warna-warni di mataku. Haha!
Ah, aku ingat! Sebuah fakta bahwa aku adalah seorang kakak di keluargaku bahkan di lingkup saudara-saudaraku. Bapak dan ibu semuanya anak sulung dari nenek dan kakekku, sehingga otomatis, aku adalah cucu pertama dari kedua pasang nenek dan kakek yang kumiliki. Aku memang pernah mengimpikan memiliki seorang kakak. Ya, itu mustahil. Meski aku membujuk adikku untuk menyandang sebagai kakak untukku, itu tak akan pernah terjadi karena takdir memang mengecapku sebagai seroang kakak. Tapi, dari mentoring yang kuikuti ini, aku seperti memiliki banyak kakak yang bisa kujadikan cermin untuk diriku. Entah dari sikap, perilaku, penampilan, dan cara berpikir mereka. Dan buah dari cerminanku pada mereka, aku bisa menyalurkannya kembali kepada adik kandungku dan saudara-saudaraku yang lain. Kesimpulannya, dari merekalah aku belajar menjadi seorang kakak yang baik. Karena kakak adalah cerminan untuk adik-adiknya.
Jika aku disuruh untuk mengingat awal dari keikutsertaanku dalam mentoring, maka aku akan menjawab “lupa!”. Aku memang sudah lupa. Entah bagaimana awalnya, dan apa penyebabnya kenapa sekarang aku merasa begitu akrab dengan mereka. Mungkinkah karena kami memiliki persamaan? Sama-sama ingin tahu (anak buah sang mentor), sama-sama memiliki bakat dalam “menggila” (anak buah + mentor), dll.
Aku ingin jujur lagi. Sebenarnya pernah juga aku merasa begitu malas mengikuti mentoring. Moodku benar-benar buruk waktu itu. Tapi tolong digarisbawahi, bahwa penyebab bad moodku bukan karena sang mentor atau si anak buah mentor. Tapi, entahlah! Aku juga tak tau jawabannya. Bisa jadi, kemalasan itu datang karena memang sudah menjadi hakikat setiap manusia bahwa pastinya mereka pernah mengalami masa-masa di mana rasa malas begitu kuat menempel dalam diri. Selain itu, jadwal mentoring yang bertubrukan dengan jadwalku pulang kampung terkadang membuat rasa malasku timbul. Ya, sebagai seorang anak sulung yang hidup cukup jauh dengan orang tua, wajar saja jika aku merindukan mereka juga kampung halamanku (apalagi kucing-kucingku, hehe). Dan mungkin, faktor lain juga bisa karena tugas-tugas yang terus menumpuk dan harus kuselesaikan segera. Baik itu tugas sekolah maupun tugas pribadi. Masalah-masalah yang sedang dihadapi seseorang memang terkadang membuat seseorang itu meninggalkan suatu hal yang seharusnya ia lakukan. Tak banyak orang yang mampu menjadikan suatu beban berat di pundaknya menjadi seringan kapas.
Meski ada rasa malas yang pernah datang menghampiriku, tapi aku tak pernah merasakan adanya penyesalan, kerugian, dan hal negatif dari keikutsertaanku dalam mentoring. Intinya aku senang bisa menjadi salah satu bagian dari mereka yang mengikuti mentoring. Dan dari mentoring itu juga aku belajar salah satu cara menjalankan perintah Allah seperti yang dilakukan Rasulullah dan para nabi sebelum beliau, yaitu berdakwah.
Kau tahu? Menginjak SMA ini, setiap harinya aku seperti melihat cahaya putih yang terbias oleh sebuah prisma tak kasat mata, dan terbias menjadi bermacam-macam warna. Ingat! Pelangi itu selalu ada jika kau mau menjemputnya.
Keyongan Kidul, 18 November 2011
PS: Maaf kalo ada kata-kata yang kurang berkenan :)
»»  READMORE...

RESENSI NOVEL "UKHTI, DO YOU LOVE ME?"

DILEMA CINTA IKHWAN DAN AKHWAT
Mutiara Ayu M. H.

Judul Buku : Ukhti, Do Yo Love Me?
Penulis : Iwan Alfarizy dan Puput Elflora
Penerbit : Belia
Cetakan : 1, Februari 2009
Tebal : 180 halaman
Harga : Rp 29.000,00



Novel remaja islami sangat digemari akhir-akhir ini khususnya para remaja muslim. Novel-novel tersebut banyak menyuguhkan kisah remaja yang “berpelangi”, terutama kisah para remaja muslim, baik yang terjun di dunia dakwah maupun keseharian mereka. Selain sebagai sarana hiburan untuk orang lain atau pembaca, dengan menulis novel bertema islami penulis juga dapat sekaligus berdakwah melalui tulisannya.
Novel berjudul “Ukhti, Do You Love Me?” ini digarap oleh duel penulis dari Sumatera Selatan, Sahlan Alfarizy dan Puput Elflora. Hobi menulis yang dimiliki Sahlan sejak kecil membuatnya memilih untuk bergabung dalam organisasi kepenulisan, FLP Sumatera Selatan, ketika dewasa. Sudah banyak hasil coret tangan dan asah imajinasinya dimuat di koran lokal, juga sudah beberapa kali ia menerbitkan buku bersama penulis lain. Sedangkan Puput Elflora, dia memang sudah memiliki hobi menulis sejak kecil.
Tema dari cerita yang dibawakan oleh Alfarizy dan Elflora memang sudah sering dibawakan oleh penulis yang sudah lama bergelut dalam dunia sastra maupun pemula, yaitu kisah cinta remaja. Namun, Alfarizy dan Elflora mampu membawakan tema picisan itu dengan sajian yang berbeda. Dengan disisipi guyon dan nilai-nilai kehidupan sehingga selain terhibur pembaca dapat sekaligus mendapat pelajaran dari novel itu.
Alur cerita dalam novel ini digarap dengan apik oleh Iwan dan Elflora. Mereka membawakannya dengan lancar sehingga seolah-olah pembaca “terhanyut” dalam ceritanya. Hal tersebut dapat dirasakan dari awal sampai akhir cerita. Di bagian awal novel ini kita dihadapkan pada tokoh utama bernama Lando, yang terserang virus merah jambu pada seorang murid baru di kelasnya bernama Vira. Begitu besarnya kekaguman Lando terhadap Vira membuatnya semangat untuk mencuri perhatian gadis itu. Namun, tak mudah menaklukkan gadis seperti Vira yang berjilbab lebar sekaligus sebagai salah satu aktivis dakwah di Rohis. Apalagi di tengah perjuangan Lando menarik perhatian gadis itu, Epon, sahabat Vira yang begitu protective padanya, sering beradu mulut dengan Lando. Selain itu Epon juga sering mengusili Lando, begitu pula sebaliknya. Namun, Lando tidak patah semangat. Dia terus mencoba untuk mengalihkan perhatian gadis jibaber itu padanya.
Bab terakhir di novel ini menuturkan banyak hal menarik yang disampaikan oleh penulis dan merupakan konflik yang dapat membuat greget para pembaca. Di novel ini diceritakan bahwa sekolah Lando akan mengadakan rekreasi di sebuah tempat rekreasi untuk beberapa hari. Lando, Vira, Epon, dan anak-anak yang lain begitu menikmati rekreasi tersebut. Namun, ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang, bus yang mereka kendarai terperosok ke dalam sebuah jurang. Naas, Vira menjadi salah satu korban tewas dalam kecelakaan tersebut. Gadis itu tewas tepat setelah Lando menghampirinya, mencoba untuk menghentikan darah yang terus keluar dari kepalanya.
Semenjak kepergian Vira, Lando mulai mengerti perasaan Vira padanya. Semua terjawab oleh sebuah diary pribadi Vira yang diserahkan oleh ibu Vira kepada Lando. Di dalam diary tersebut Vira banyak menuliskan tentang Lando. Tanpa sepengetahuan Lando sebelumnya, gadis itu mulai merasakan getaran-getaran yang aneh dalam hatinya ketika Lando berusaha mendekatinya.
Namun, kekuatan iman dan prinsip yang dipegang gadis sholehah itu membuatnya merasa tersiksa dengan perasaan itu. Dia tidak ingin hatinya dikuasai oleh cinta yang semu sehingga menggeser cintanya pada Sang Pencipta. Apalagi umurnya yang masih tergolong muda membuatnya sadar bahwa belum tentu yang ia sukai sekarang adalah jodohnya. Keteguhan gadis sholehah itu tertuang dalam tulisannya yang ia tulis dalam diary-nya. “… Rasanya aku terperangkap!! Aku terjerat! Kini rasa itu telah menjalar, menyelubungi hati ini. rasa apa yang sedang berperang dalam nuraniku? Dey… sunguh, aku lelah bersembunyi. Aku lelah menutupi maksud hati ini. Aku tidak sanggup!!! Bantu aku, Dey! Bantuuu aku…!! Aku tidak mau terperosok lebih dalam lagi. Jauhkan aku darinya!! Tolooong, jangan siksa aku dengan cinta yang tak kekal. Akan kubunuh dia sekuat tenagaku.” (hal. 171).
Novel ini sangat cocok untuk para remaja, khususnya remaja muslim. Karena di dalamnya, penulis banyak menyelipkan nilai-nilai kehidupan, terutama nilai agama yang banyak diselipkan dalam sikap dan pola pikir tokoh Vira. Keteguhan hati seorang muslimah dalam memegang syariat agama di tengah hingar bingar kehidupan remaja yang sudah lepas dari prinsip agama. Gaya bahasa yang dipilih penulis juga cocok untuk para remaja. Tidak ribet dan mudah dipahami. Apalagi penulis banyak memberikan guyon melalui tingkah Lando dan Epon. Salah satunya seperti yang dikutip berikut, “Tapi cengiran Lando mengambang karena adegan yang diharapkannya tak kunjung tiba. Yang ada malah saputangan miliknya gak sengaja keinjek Vira, dan dengan sengaja Epon pun mengelap bagian bawah sepatunya di saputangannya itu.
“Makasih ya, udah disediain kaset kaset kaki,” kata Epon seenaknya ketika melintas di hadapan Lando. Gak ada ampun. Lando langsung belingsatan dan mendadak stres dibuatnya.
“Epoooonnnnn….!!!!!” teriaknya geram.”
(hal. 9).
Namun, sayangnya, Iwan dan Puput membuat banyak lanturan di dalam novel ini. Lanturan-lanturan itu tertulis jelas dalam bab ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh. Cerita dalam keempat bab tersebut membawa pembaca keluar dari tema yang ingin disuguhkan, yaitu kisah cinta antara ikhwan (laki-laki muslim) dan akhwat (perempuan muslim). Cerdiknya penulis, di dalam kelima bab yang melantur dari tema, Alfahrizy dan Elflora banyak menyuguhkan nilai-nilai kepada pembaca yang disajikan secara tersirat. Seperti misalnya, keharusan seorang siswa untuk mematuhi peraturan sekolah dapat ditemukan di bab “3 G + B (Guruku Galak-Galak Banget, Sih)”, kewajiban sebagai siswa untuk menghormati gurunya dapat ditemukan di bab “Mati Gaya!!”, dan keharusan siswa untuk bersikap jujur ketika ujian dapat ditemukan di bab “Ulangan lagi? Ampun, deh!!”.
“Ukhti, Do You Love Me?” adalah sebuah novel yang mengajarkan pembaca akan pentingnya nilai-nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan remaja. Pembaca dapat belajar dari perilaku, sikap, dan pola pikir para tokoh. Selain sarat akan nilai-nilai, melalui novel ini para pembaca khususnya remaja muslim dapat belajar tentang arti cinta yang hakiki, kebersamaan dan persahabatan. Apalagi dengan gaya bahasa yang cocok untuk remaja dan guyon yang diselipkan penulis membuat novel ini dapat dengan mudah dilahap remaja.
»»  READMORE...

THEY CALL IT, LOVE


“Hufftt… qm tau gag ceh klo qu tu sbnrnya mcieh cyank ma qmu?? Cma qm satu2’na eang adda di hatiqu. Gag adda eang laen… Mengertilahhh…”

#Gubrak!!! Toeng, toeng… :S

Pernah baca tulisan semacam itu? Mungkin baca status teman-teman di facebook, twitter, atau di halaman belakang buku catatan teman? :D Atau… jangan-jangan pernah nulis tulisan semacam itu, ya? Hayooo… :D hehe…

Udah nggak asing lagi rangkaian kata-kata semacam itu. Bahkan hampir setiap hari kalimat-kalimat seperti itu ditemukan di mana aja. Misal di social network, blog, di tempat umum, bangku sekolah dan tembok-tembok sekolah (pelajar yang suka menghemat buku catatan). Nggak ada habisnya nulis sesuatu yang nggak lepas dari apa yang disebut ‘cinta’. Yang galau lah, yang bener-bener kehilangan tenaga gara-gara putus cinta, yang marah-marah nggak terima karena dikhianati cinta, sampe-sampe bunuh diri karena cinta. Naudzubillahi mindzalik… #backsound: cecak’s#

Sebenarnya apa sih, makna cinta yang sebenarnya? Kok, ngliat kisah mereka tu kayaknya cinta adalah sesuatu yang amat sangat mengerikan! Ho’o po? Is it right? Check it out!

Cinta. Jika ditanya apa itu cinta, maka akan banyak variasi jawaban. (langsung aja), Mungkin ada yang akan menjawab cinta itu adalah sesuatu yang mana membuat orang tersebut ingin sekali memiliki apa yang disukai, membuat senang apa yang disukai, berbagi dengan apa yang disukai, dan blablabla apa yang disukai. Intinya cinta itu indah. :D Ya! Emang bener kok, cinta itu indah! (icikiwir…) Memang dari sono-nya (?) cinta itu sebenarnya indah. Indaaahhh… banget! *lebay sithik* You agree with me, don’t you? :D haha!

Tapi, ada juga orang yang berpendapat kalau cinta itu adalah sesuatu yang mengerikan! Sesuatu yang buruk! Sesuatu yang menyebalkan! Sesuatu yang tidak menyenangkan! Nah, lho? How’s that? :O

Sudah tertulis sebelumnya, bahwa cinta itu indah. Cinta yang ditaburkan dan ditanam Allah pada hati setiap hamba-hamba-Nya adalah cinta yang indah. Well, karena Allah yang menanam benih-benih cinta itu pada diri manusia, maka sudah jelas-las-las bahwa yang memiliki cinta, yang menguasai cinta adalah Allah SWT. Kenapa Allah memberikan cinta pada kita? Karena dengan cinta tersebut kita dapat saling mengasihi sesama saudara, sebangsa dan setanah air :D. Bukan hanya itu saja! Cinta juga akan mengantarkan kita pada kedamaian, kebersamaan, kebahagiaan, dan kehangatan. Tapi, ingat! Cinta itu milik Allah. Artinya, kita tak berhak menggunakan cinta itu sesuka kita. Hakikat cinta yang sebenarnya adalah cinta kepada Tuhan. Karena itu, cintailah Allah, dan cintamu ke Allah akan mengantarmu mencintai makhluk Allah. (yeerrr… xD) Bagaimana caranya? So pasti sebagai umat yang beragama kita harus menaati semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Tak cukup itu, Bro! Kita juga harus menjaga hati kita, agar cinta kita selalu bertasbih pada-Nya. :D

Manfaat yang didapat ketika kita mampu mencintai Allah setulus-tulusnya dan menjaga cinta itu, subhanallah indaahh… banget! Ketika kita mencintai Allah, maka Dia akan mencintai kita lebih dari kita mencintai-Nya. Subhanallah, dicintai Sang Pencipta jagat raya siapa yang nggak seneng! x) Kita juga akan lebih tenang menghadapi berbagai macam problema kehidupan karena dari cinta itu tumbuh ketenangan dan kepercayaan dalam hati bahwa Allah pasti akan menolong kita. Selain itu, kita juga akan diarahkan ke hal-hal atau kegiatan positif dari cinta itu yang insyaallah berbuah pahala. :) Subhanallah, itu hanya secuil dari sekian banyaknya keuntungan mencintai Allah, mbak mas! Yang lain masih banyak! :D Nggak ada ruginya deh, mencintai Allah tu! Tul? Betul sekale! :D

Nah, lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa cinta itu sesuatu yang mengerikan? Hmm… yang seperti itu, kasihan sekali sodara-sodara! Kenapa? Karena dia kehilangan makna cinta yang sebenarnya. Cinta yang seharusnya membawa kedamaian dan ketenangan menghadapi cobaan hidup justru membawa pada kesengsaraan, keterpurukan dan kegelapan. Cinta ibarat sebuah mesin. Sebuah mesih, jika kita rawat dengan baik dan sesuai aturannya maka mesin itu akan awet dan banyak membuahkan manfaat. Tapi jika kita tidak merawatnya dengan baik atau tidak sesuai prosedur perawatan maka mesin itu justru akan merepotkan kita dan merugikan kita. Cinta juga seperti itu. Ketika seseorang tidak mampu menjaga dan merawat cintanya (dalam arti menempatkan cinta pada posisi yang tepat), dia akan menjadi seonggok (?) perasaan yang justru mengantar orang itu pada siksa dunia dan akhirat.

Akhir-akhir ini, banyak perilaku (khususnya) remaja yang bikin geleng-geleng kepala juga ngelus-ngelus idung (?). Pernah tuh, aku nemuin ada orang yang bilang gini:

“Ayank, ku mohon jangan pergi. Aku gak bisa hidup tanpamu…”

GUBRAK!!!!!! Teong-teong-tek-blung! Si ayank tuh, siapa? Oksigen?! Hah?! Aeng-aeng wae! -.-“

Enggak hanya dari perkataan mereka, dink! Tapi, lagu-lagu sekarang banyak kan, yang gituan? Sang kekasih diibaratkan darah (pacarnya drakula ya!), diibaratkan matahari (panas lah!), diibaratkan bulan (permukaan bulan bolong-bolong, lho!), diibaratkan bunga (Rafflesia Arnoldi?). :D Kalo dilogika semua itu berbanding terbalik, kan? Makanya, kalo ada puisi cinta coba deh, dilogika, pasti lebih lucu dari lawakan pelawak terkenal. :D Misal, “Namamu telah kuukir dalam dinding-dinding hatiku…” Aduh biyung… -,- gek piye kui bentuke??? (note: Sastra jangan dilogika!)

Saudaraku, melihat pandangan hidup manusia saat ini, kita harus pandai-pandai menyisir hikmah dan pelajaran yang diselipkan Allah di dalamnya. Menjadi pribadi yang memegang teguh aturan dalam Al Qur’an dan As Sunnah agar kita menjadi hamba-Nya yang beruntung di dunia dan akhirat. Istiqomahlah, Sahabat! Karena “Perbuatan yang paling dicintai Allah adalah perbuatan yang dilakukan dengan istiqomah.” (HR. Al Bukhari).

Saudaraku, coba tengok yang ada di dalam dirimu. Berpikirlah! Di dalam kepala kita ada seonggok benda yang disebut otak. Otak itulah yang mengendalikan segala macam gerak dan pikiran kita. Tanpa otak, kita hanya sebuah badan tak ber’nyawa’. Pegang dadamu dan rasakan detakan jantung di dalamnya. Setiap detaknya, jantung itu selalu mengalirkan darah di seluruh tubuh kita. Jantung ini untuk kita, Saudaraku. Sekarang, tengok keluar. Hiruplah udara perlahan dan rasakan kenikmatan yang menjalar di sekujur tubuh kita. Udara ini untuk kita, saudaraku. Lihat gemericik aliran air itu. Dingin, bening, tak berasa, tapi membawa banyak manfaat untuk kita. Saudaraku, air itu untuk kita. Lihat pohon itu, lihat tanah itu, lihat langit itu, lihat bintang itu, lihat bulan itu. Semua untuk kita, Saudaraku. Lalu, apa yang sudah kita berikan pada Allah? Sudahkah kita selalu mengingat-Nya dalam keadaan apapun? Sudahkah kita berterimakasih pada-Nya atas limpahan kenikmatan ini? Sudahkah kita mencintai-Nya sepenuh hati?

Saudaraku, ketika kita mencintai orang lain, dan ternyata orang itu tidak mencintai kita, apa yang kau rasa? Sakit? Sedih? Iya, pasti itu! Apalagi sudah banyak yang kita korbankan demi kebahagiaannya. Tapi, semua terbalas pahit. Jangan merasa besar, Saudaraku! Kita ini bagai sebuah mikroba di hadapan Allah. Bukti cintamu tak sebesar bukti cinta Allah kepada kita.

Saudaraku, terkadang kita meminta orang lain untuk mengerti perasaan kita. Tapi, setiap harinya, Allah meminta kita untuk mengerti perasaan-Nya.

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (QS. Ali ‘Imran: 31-32). Semoga bermanfaat. :) aaa.

Keyongan Kidul, 7 Desember 2011
»»  READMORE...

BEST OF THE BEST "MIRROR"


Siapa yang kenal Kim Bum? Siapa yang kenal Shinee? Siapa yang kenal Super Junior? Siapa yang kenal Justin Bieber? Siapa yang kenal Greyson Chance? Siapa yang kenal SM*SH? Siapa yang nggak kenal mereka semua? Aku yakin seyakin-yakinnya, mbak mbak dan mas mas yang ngerasa dirinya remaja tau who they are! Bagi yang nggak tau, just be relax, I am going to tell you. :)

Jadi, mereka-mereka yang tersebut di atas adalah beberapa dari sekian banyak public figure yang sedang demen-demennya menebar virus pada para remaja. Namanya juga virus, jelas itu merugikan kalo udah di tempat yang tidak pas! Dampak dari virus yang bersarang di tubuh para remaja itu akan membuat anak-anak remaja akan kehilangan kepekaan inderanya perlahan-lahan. Nah, lho? Gimana tuh? :O

Coba, deh tengok sekitar kalian. Di sekolah misalnya. Nggak sedikit remaja yang begitu mengelu-ngelukan idola mereka. Bahkan dibela-belain sampe barang-barangnya pun “berbau-bauan” idola mereka. Mulai dari laptop yang udah sulit dikenali kalo itu laptop saking banyaknya stiker yang nempel, poster-poster yang berserakan (?) di dinding kamar ngalah-ngalahin spanduk pemilihan pilkada di jalanan, memori hape penuh buat nyimpen foto-foto + lagu-lagunya sang idola, bahkan sampe rela melakukan renovasi (?) pada dirinya sendiri demi biar dibilang mirip dengan sang idola. Adyuh, biyuh, biyuh… -,-“ Bahkan aku pernah lihat tuh, di kotak persegi bergambar dan bersuara yang disebut tipi (TV), ada seorang penyanyi remaja terkenal yang sedang promosi album di beberapa negara. Nah, otomatis fans-fansnya langsung hunting tiket buat nonton tuh konser, lah! Nah yang bikin aku bener-bener geleng-geleng kepala plus ngelus-ngelus dengkul (?!), para fans tadi RELA “memeras darah” mereka demi sebuah tiket yang harganya bisa buat makan sebulan! Terus ada yang nangis-nangis histeris sampe marah-marah nggak jelas cuma gara-gara nggak bisa liat idola lebih dekat. Astaghfirullah… emang tuh orang istimewanya apa, sih kok fans-fansnya sampe ngalah-ngalahin pedemo yang anarkis? Ganteng? Cakep? Putih? Suaranya? Penampilannya? Apaan? Itu semua? Hyuhh… #backsound: cecak’s#

Padahal yah, kalo saja mereka lebih jaga hati, maka mereka bakal tau kalo semua itu cuma sementara. Fana. Semu. Toh, seiring berjalannya waktu para artis-artis itu juga bakal jadi tua, kan? keriput-keriput wajahnya, rambutnya beruban, suaranya jadi cempreng. Iya, kan? Apa coba gunanya sampe diidolakan sedemikian besarnya sampe lupa waktu? Apalagi sampe dipuja-puja, gitu! Ih?! Dia siapa? Tuhan? Emang dia yang bikin dunia ini? Emang dia yang bikin wajah kita cantik ganteng gini? *narsis* Emang dia yang bikin alam raya ini? Ngimpi!!! Sadar dong! Mereka itu juga manusia ciptaan Tuhan. Sederajat dengan kita! Awas! Bisa jadi syirik, lho kalo sampe bela-belain banyak waktu + tenaga buat mereka ketimbang buat Tuhan! :O

Nggak pernah ada yang melarang kita mengidolakan seseorang. Tapi Allah nggak suka kalo kita melakukan sesuatu hal secara berlebihan.

“… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al An’am 141)

Nah tuh! Dah jelas kan, kalo sesuatu yang dilakukan secara berlebihan tidak disukai oleh Allah. Karena itu, kita harus selalu berhati-hati dalam mengidolakan seseorang. Kita harus memberi tameng pada hati kita supaya kita nggak mudah terlena oleh mereka (wuissh… bahasanya).

Ingat hei, Saudaraku! :) sebagai Muslim kita nggak boleh sampe lupa pada sosok yang begitu terkenal bahkan meski sekarang beliau telah tiada. Jangan bilang kamu nggak tau, ya? Bahkan orang yang non-muslim aja banyak yang tau siapa beliau meski hanya tau “kulit”-nya saja. Masa yang Muslim nggak tau? Heh! Please, deh! Mbok jangan terlaluh getoh!

Nabi Muhammad SAW. Seorang lelaki yang berakhlak mulia. Sampai semua penghuni langit pun amat sangat mencintai beliau. Meski dalam perjalannya dalam dakwah beliau selalu menelan butir-butir kepahitan, namun tak sedikit pun ada rasa dendam, benci, bosan dan putus asa dalam diri beliau. Justru beliau selalu mendoakan setiap orang yang berbuat jahat kepadanya. Bahkan menolongnya ketika dia dalam kesulitan. Tanpa pernah mengharap suatu balasan. Subhanallah… :’) Saudaraku, mampukah kamu mencontoh sikapnya?

Nabi Muhammad SAW. Seorang lelaki yang banyak menyebar benih-benih kebaikan di permukaan bumi. Yang membantu hamba-hamba Allah yang lain bagaimana caranya agar dapat meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Mengenalkan kepada kita siapa Allah dan apa itu Al Qur’an. Memberi tahu kita tentang kenikmatan syurga yang kekal dan pedihnya siksa di neraka. Saudaraku, sudahkan kamu selalu mengingat Allah dan membaca serta mengamalkan isi Al Qur’an?

Nabi Muhammad SAW. Seorang lelaki yang meski sudah dijamin dirinya terbebas dari segala dosa, tapi beliau tetap memohon ampun pada Allah di setiap doanya. Yang meski dirinya sudah dijamin sebagai penghuni syurga, tapi ibadahnya selalu mengalir dan tak pernah putus. Bagaimana dengan ibadahmu, Saudaraku?

Nabi Muhammad SAW. Seorang nabi yang amat sangat mencintai umatnya. Yang amat sangat memikirkan masa depan umatnya. Yang mengkhawatirkan umatnya tanpa beliau jika Allah memanggilnya kembali. Bahkan dalam pedihnya sakaratul maut yang beliau alami, beliau masih ingat umatnya dengan menyebut, “Ummati, ummati, ummati…” Subhanallah… Sudahkan kamu mencintainya seperti ia mencintaimu, Saudaraku?

Nabi Muhammad SAW. Meski beliau kini telah tiada, namun namanya tetap terus bergema dalam atmosfer bumi. Namanya begitu harum bahkan lebih harum dari nama R.A. Kartini. Kepribadiannya menjadi cermin bagi umatnya. Sosok lelaki yang menjadi idaman bagi setiap wanita. Yang kata-kata cintanya tak henti-hentinya mengalir di setiap sela kehidupan. Yang dapat memimpin dengan adil dan jujur. Yang hatinya tak pernah ada secuil noda. Yang syafa’atnya sangat diharapkan semua umat Muslim. Yang meninggalkan umat Islam dengan mewariskan dua hal yang akan membawa kita bertemu dengan beliau di syurga nanti. Al Qur’an dan Al Hadist.

“Sesungguhnya telah ada bagi kalian, pada diri Rasululah itu suri teladan yang baik. Bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir. Dan dia banyak mengingat Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Saudaraku, siapakah idolamu sekarang? Aiu.

Hatinya suci mulia, Pribadinya agung tak ternoda. Penghuni langit dan bumi cinta kepadanya. Karena ia kekasih Tuhannya. Musuh pun tak kuasa membencinya. Jasad mereka menentang. Namun hati mereka mengakui keagungan pribadinya. Karena akhlaknya begitu indah. Seindah keindahan yang terindah. Seindah keindahan yang terindah. Cinta kepada umatnya jangan ditanya. Sedalam perasaan, setinggi lamunan. Secerah bebintang yang bertebaran di alam raya. Tiada berbalas, apalagi terbalas. Itulah cintanya. Ketika pedihnya sakaratul maut kau rasa. Saat itu pun engkau masih ungkapkan cinta. Ummati, ummati, ummati… Ummati, ummati, ummati… Kau masih teringat akan kami, umatmu. Namun kami selalu melupakanmu. Oh, sungguh mulianya hatimu. Oh, sungguh indahnya cintamu. Wahai saudaraku pantaskan kita, Slalu melupakannya? Karena tanpanya hidup kita hanyalah kehinaan. Karena tanpanya hidup kita hanyalah kegelapan. Karena tanpanya kita takkan pernah. Mengenal Allah Yang Esa

(Maidany_Cinta Seorang Kekasih)
»»  READMORE...

KATAKU


KATAKU

Buah pena: Mutiara Ayu

Aku bukan penyair

Sekedar berkata menuang kata

Bukan riya’ hanya berkarya

Mencipta senyum pada jiwa

Aku pelukis kata

Bukan kuas bukan cat warna

Cukup sesobek kertas juga pena

Menuang rasa terwujud kata

Aku pemahat kata

Buka palu bukan kayu

Cukup inspirasi dan khayalku

Melambung tinggi di langit biru

Aku penyanyi kata

Senandung lagu di bawah pena

Alun musik mengantar rasa

Dentingan piano pelipur lara

Aku adalah diriku

Diriku adalah hatiku

Hatiku adalah rasaku

Rasaku adalah kataku

Kataku adalah coretan

Keyongan Kidul, 15 Mei 2011
»»  READMORE...

SI KECIL ITU... (Special Qurban :D)


SI KECIL ITU…

Gadis kecil berusia 5 tahun itu berlari-lari kecil menghampiri bunda yang sedang membaca buku sembari duduk di sofa. Mata sipitnya mengerjap-ngerjap menyorotkan binar bahagia. Rambut lurusnya yang pendek bergoyang-goyang saat kaki-kaki kecilnya melangkah. Pipinya yang bulat dan hidungnya yang mancung membuatnya terlihat begitu menggemaskan. Senyumnya terukir sempurna membuatku tak sedikit pun menemukan beban di dalamnya. Majalah anak yang digenggam ditunjukkannya pada bunda.

“Apa, sayang?” tanya bunda lembut. Tangannya meraih gadis kecil itu dalam pangkuannya.

Gadis kecil itu mengutarakan maksudnya pada bunda. Kulirik dari majalah yang kubaca, bunda tampak terkejut dengan apa yang diutarakan gadis itu. Gadis kecil itu mengutarakan maksudnya namun aku tak tahu apa yang dia utarakan. Yang kutahu gadis itu terus menggerak-gerakkan tangannya dengan raut muka senang. Kulihat mata bunda berkaca-kaca. Sesekali beliau mengangguk sambil tersenyum.

Gadis kecil itu melompat-lompat senang. Senyumnya terukir lebar membuat matanya yang sipit hampir tak terlihat. Tangan kecilnya meraih leher bunda dalam pelukannya. Kulihat air mata bunda meleleh pada pipinya.

Aku terus bertanya-tanya apa yang membuat gadis kecil itu terlihat begitu bahagia. Apalagi sampai membuat bunda meneteskan air mata. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu urung kuutarakan. Kuputuskan kembali tenggelam dalam majalah kesukaanku.

Tiba-tiba gadis kecil itu sudah di depanku. Tangan kanannya menyingkapkan majalah yang kubaca dari hadapanku dan meletakkan majalah yang dibawanya pada pangkuanku. Dia terus menunjuk-nunjuk gambar kambing lucu di dalamnya. Tangannya bergerak-gerak dan dapat kulihat dari sorot matanya, dia tampak begitu bahagia. Mungkin sudah kesepuluh kalinya ia menunjuk-nunjuk gambar kambing itu dengan mata berbinar seolah ia ingin menyampaikan maksudnya melalui pandangan matanya.

Aku hanya bisa tersenyum sambil mengangguk meski sebenarnya aku tak paham. Tapi sepertinya gadis ini tidak menangkap ekspresi bingungku. Dia terus saja menggerak-gerakkan tangannya. Kutolehkan pandanganku pada bunda yang sedari tadi mengamati kami. Bunda menatapku lembut. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata, bunda seperti tahu arti tolehanku.

“Naila pengen punya kambing, Kakak! Untuk dikurbankan saat Idul Adha nanti.”

Naila mengangguk-angguk lucu. Matanya berkali-kali mengerjap-ngerjap. Aku menatap mata sipitnya lekat-lekat. Sinar-sinar bahagia itu tak henti-hentinya memancar dari mata sipit itu. Seolah sinar itu ikut masuk ke dalam diriku melalui mataku. Ion-ion bahagia mengalir bersama darah di sepanjang pembuluh darahku. Terus mengalir sampai otak dan meninggalkan molekul positif di dalamnya. Molekul-molekul itu membuat otakku bekerja sempurna dan mengirimkan pesan pada otot-otot di rahangku untuk berkontraksi. Dan seulas senyum pun terukir di wajah tirusku.

Naila tersenyum lebar begitu melihat senyumku. Seolah-olah dia dapat membaca makna yang terselip dari senyumku. Tak dapat membendung kebahagiaannya, dia merengkuh pundakku dengan sayang.

***

Naila terlihat sering tersenyum dan tertawa semenjak ayah dan bunda membelikannya seekor kambing. Tak pernah absen ia menggembalakan kambingnya di lapangan di desa kami. Sebenarnya Naila sering mengajakku untuk menggembalakan kambingnya. Tapi, bunda hanya mengizinkanku menemani Naila ketika hari Minggu karena setiap sepulang sekolah aku harus membantu bunda memasak. Bunda memang membuka jasa katering di rumah. Jika sedang tidak bersamaku, Naila sering ditemani Pak Rasid, tetangga sebelah, yang juga sering menggembalakan kambing-kambingnya.

Naila terlihat begitu bersemangat merawat kambing itu. Bahkan dia begitu menyayangi kambing yang nantinya akan dikurbankan. Entah apa yang membuat gadis kecil berusia 5 tahun itu memikirkan soal kurban, bahkan berinisiatif untuk menyumbangkan hewan kurban. Dan dia juga tak pernah sekalipun terlihat bosan setelah seharian menggembalakan kambingnya. Bahkan tawaran bunda untuk makan siang pun tak digubrisnya. Satu hal yang kuketahui lagi dari adikku, dia memang istimewa.

***

Tanggal 10 Dzulhijjah yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha tinggal dua hari lagi. Belakangan ini Naila terlihat semakin semangat menggembalakan kambingnya. Dan kuperhatikan, tubuh dari kambing terlihat lebih gemuk daripada ketika awal kambing itu diantar di rumah. Saking semangatnya, Naila pernah berpikiran untuk memandikan kambingnya. Sebelumnya ia bertanya pada setiap orang di rumah, “Kenapa kambing bau?”. Menurut Naila, kambing yang nantinya akan disembelih, harusnya bertubuh wangi. Tapi idenya untuk memandikan kambingnya langsung ditolak oleh bunda dan ayah. Hihi… aku tertawa geli saat Naila menyampaikan idenya.

Siang itu, saat aku sedang membantu bunda membuat pesanan, tiba-tiba Hamzah, putra Pak Rasid, datang ke rumah kami. Nafasnya tersendat-sendat begitu sampai di rumah. Aku hampir saja tertawa melihat tingkah teman sekelasku itu, jika saja ia tak menyebut-nyebut nama Naila.

“Naila kecelakaan?!” seru bunda begitu Hamzah selesai berkata.

Hamzah hanya mengangguk. Dia tampak mengatur nafasnya. Aku tercekat mendengar berita itu. piring yang kubawa hampir saja terlepas dari genggamanku jika saja aku tak cepat-cepat sadar. Jantungku berdegup kencang. Rasa khawatir mulai menyergap diriku. Apalagi ketika bunda mulai bersimbah air mata saat mendengar kata yang keluar dari mulut Hamzah. “P-parah…, Bu…”

Tanpa pikir panjang bunda langsung berlari keluar sebelum menarik Hamzah keluar rumah untuk mengantarkan ke tempat Naila berada. Aku mematung untuk beberapa detik. Bayangan Naila tergambar jelas di pikiranku. Senyumnya, tawanya. Rasa khawatir pun semakin kuat berdegup di hatiku. Akhirnya, segera kugerakkan kakiku, mengejar bunda dan Hamzah.

Hamzah membawa kami ke Puskesmas di desa kami. Suasana di sana cukup ramai. Kutangkap ekspresi-ekspresi yang sulit kucerna maksudnya dari wajah tetanggaku. Bunda menerobos masuk ke dalam ruangan. Aku berlari-lari kecil menyusulnya. Bau obat-obatan mulai menusuk hidungku.

Kaki bunda menapak lantai sebuah ruangan berukuran 3 x 3 m. Kulihat seorang anak kecil terbaring tak berdaya di ranjang dengan biru laut. Di keningnya mengalir darah segar sehingga menutupi hampir sepertiga bagian wajahnya. Kerudung yang menutupi kepalanya hampir tidak terlihat lagi warna aslinya karena terkena warna merah darah. Di sekujur tubuhnya, tampak barutan-barutan dan darah-darah yang tak sedikit.

“Ya Allah… Nailaa!!!” pekik bunda. Tangannya langsung merengkuh tubuh Naila yang tak bergerak.

Langkahku terhenti tepat di belakang bunda. Mendengar jeritan bunda, aku tak berani mendekat. Ya, Allah… Selamatkan adikku…

***

“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar,…”

Gema takbir berkumandang dari masjid di desaku. Halaman depan masjid Ar Rahman di penuhi oleh warga desa. Tenda-tenda terpasang di halaman. Tampak beberapa orang sibuk menyiapkan beberapa bambu dan tali. Ada juga yang tengah memotong daun pisang di samping masjid. Anak-anak yang rata-rata adalah teman sekolahku banyak mengerubungi kambing-kambing dan sapi. Beberapa di antara mereka mengulurkan setangkai daun hendak memberikan makan seekor kambing yang di lehernya dikalungkan sebuah papan nama dari penyumbang hewan kurban. Ibu-ibu tampak sibuk membawa panci besar dan beberapa peralatan memasak lainnya di rumah Pak Ali yang letaknya tepat di samping masjid.

Kulihat bapak Hamzah membuat sebuah lubang di halaman samping masjid yang cukup luas. Tak lama kemudian, seekor kambing digiring menuju lubang tersebut. Kulihat di papan nama yang dikalungkan di leher kambing itu. Aku sedikit tersentak. Tertera di situ nama adikku, NAILA.

Naila, andai kau ada di sini sekarang. Kakak yakin kau pasti menjadi seorang anak yang paling bersemangat menyambut hari raya ini.

Kambing Naila ditidurkan di atas lubang yang dibuat tadi. Suara gema takbir terus berkumandang. Beberapa orang mulai memegangi kaki-kaki kambing Naila yang terlihat gemuk dan sehat.

Naila, apa kau sekarang menyaksikan dari atas sana? Lihat! Kambingmu sebentar lagi akan disembelih. Usahamu menggembalakannya memang tak sia-sia, Nai. Tadi sempat kakak dengar ada yang memuji kambingmu karena terlihat paling gemuk dan sehat.

Mulutku pelan melantunkan takbir saat parang itu mulai memotong leher kambing Naila. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku adalah seorang anak perempuan berusia 10 tahun. Sekarang aku duduk di bangku kelas 5 SD, sedangkan Naila adikku, dia masih TK. Sebenarnya aku adalah kakak angkat dari Naila. Bunda dan ayah mengadopsiku dari sebuah panti asuhan di kota. Sejak dari kecil aku tidak pernah mengenal siapa orang tua kandungku. Yang kutahu dari Bunda Dina, yang mengurus panti, ayah dan ibu kandungku selalu tersenyum di surga setiap melihatku berbuat kebaikan. Sebenarnya aku pernah mendengar Bunda Dina berbicara dengan Bunda Husna dan Ayah Hasan, orang tuaku sekarang, tentang orang tuaku. Menurut apa yang dituturkan Bunda Dina, ayah dan ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan bus ketika sedang dalam perjalanan keluar kota. Aku satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan itu. Karena ayah dan bundaku sudah tidak memiliki keluarga lagi dan tidak ada yang bisa mengurusku, maka aku pun dikirim ke panti asuhan. Saat itu usiaku masih 10 bulan. Meski tak pernah bertemu orang tua kandungku, Bunda Dina mengajariku bagaimana caranya agar aku tetap bisa berbakti pada mereka. Setiap shalat, tak pernah aku lalai untuk mendoakan kebahagiaan ayah dan ibu di sana. Meski tak pernah tahu wajah ayah dan ibuku, aku harap di akhirat nanti Allah mempertemukanku dengan mereka.

Semenjak aku menjadi bagian dari keluarga Ayah Hasan dan Bunda Husna, kerinduanku akan kasih sayang seorang ayah dan ibu sedikit terobati. Ayah Hasan dan Bunda Husna sangat menyayangiku. Meski dia memiliki seorang anak kandung yang masih kecil, Naila, tapi mereka dapat berlaku adil terhadapku dan Naila meski aku tidak lahir dari rahim Bunda Husna.

Aku senang memiliki seorang adik seperti Naila, meski baru sekitar dua bulan aku menjadi bagian dari keluarga ini. Naila adalah seorang gadis kecil yang lucu dan menggemaskan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang sering ia utarakan. Pertanyaan-pertanyaan itu terkadang membuat ayah, bunda dan orang lain kewalahan. Tapi, tingkahnya yang lucu membuat setiap orang tak sedikit pun rela memarahinya.

Menurutku Naila seorang anak yang cerdas. Dia dengan mudah dapat mencerna setiap hal baru yang ia dapatkan. Meski terkadang ia kesulitan untuk membuat seseorang paham dengan apa yang ia maksud, tapi tak menyiutkan semangatnya untuk terus belajar. Aku benar-benar bangga menjadi kakaknya meski faktanya aku bukan kakak kandungnya. Terkadang aku juga masih sering salah paham dengan apa yang ia maksud.

Aku yakin, jika saja Allah memberikan Naila umur panjang, maka ia akan tumbuh menjadi seorang gadis muslim yang baik budi pekertinya dan cantik fisik maupun hatinya. Lihat saja, di usianya yang masih tergolong kanak-kanak, dia sudah berinisiatif untuk berkurban. Dia juga sering membantu orang lain, terutama anggota keluarganya.

Ya, Naila adalah adikku. Kau tahu, kepergian Naila membuatku menyadari sesuatu. Seharusnya kakak lebih semangat belajar bahasa isyarat pada bunda agar kakak bisa lebih mudah berkomunikasi denganmu selama dua bulan terakhir ini, tanpa meminta tolong bunda untuk menerjemahkannya.

Naila, anak perempuan yang tak pernah minder dengan kekurangannya itu adalah adikku. Naila, anak perempuan yang sudah bisu sejak lahir itu adalah adikku.

***

Keyongan Kidul, 4 November 2011
Asalamualaikum... Alhamdulillah akhirnya cerpenku yang ini bisa selesai juga :D Soalnya kebanyakan cuma berhenti di tengah jalan -,-".. well-e-well (?), tema di atas emang kudapat dari hari raya Idul Adha tahun ini. :D hyaha... gimana? Aku yakin masih ada yang "aneh". Jadi, mohon kritik dan sarannya ya :) Thank you for reading ^^ wasalamualaikum...
»»  READMORE...

Catatan Seorang Kakak Untuk Adik

Dik, apa kau tau apa yang kakak lakukan dulu ketika kau menjadi tamu baru bagi bumi? Seandainya saat itu kau tau semuanya, Dik! Lautan haru, senandung melodi bahagia, barangkali akan menjadi bunga dan kupu-kupu di matamu. Sayang, kau masih terlalu lemah. Kau tidak bisa melihat tangis haru ibu ketika menggendongmu, kau tak merasakan kecupan sayang dari ayah, kau tak sadar bahwa masa kelahiranmu adalah masa ketika kau menjadi tontonan kami. Dan kau tak melihat binar bahagia di mata kakak. Binar yang mengantar sebuah janji. “Aku akan menjadi kakak yang baik untukmu.”
Seiring berjalannya waktu, kau tumbuh menjadi adik yang pintar. Indra yang dianugerahkan Allah padamu sempurna bekerja. Sehingga kau dengan mudah belajar mengenal sekelilingmu. Siapa ibu? Siapa ayah? Siapa nenek? Siapa kakek? Siapa teman? Siapa kakak? Apa itu sendok? Apa itu garpu? Apa itu bantal? Apa itu bunga? Apa itu kucing? Apa itu bintang? Apa itu bulan? Apa itu senang? Apa itu sedih? Apa itu memberi? Apa itu bermain? Kelima indramu mencerna setiap hal yang baru kau temui.
Dik, kehadiranmu di dunia ini memang merubah suasana di keluarga ini. Kau lebih sering membuat tawa dan senyum pada wajah ibu dan ayah. Kau lebih sering menarik perhatian orang-orang di sekeliling dengan setiap pertanyaanmu, setiap ketidaktahuanmu, setiap gerak-gerikmu, dan setiap raut yang terlukis di wajah beningmu. Kau sukses membuatku iri! Kau sukses membuatku cemburu! Kau sukses membuatku berprasangka buruk kepada ibu dan ayah. Menjadikan merek korban su’udzonku. Ah! Saat itulah benih-benih benci itu muncul, Dik! Terus tumbuh merambati hati dan pikiranku, sehingga mendorongku untuk menyakitimu. Maafkan kakak atas ketidaktahuan dan kebodohan itu, Dik! Atas semua luka yang kutoreh pada hatimu. Sungguh, jika saat itu kakak lebih mudah mencerna semua, tak akan pernah ada niat untuk menyakitimu. Maafkan kakak…
Dik, mungkin kau sudah tau, bahwa tak ada makhluk yang sempurna di alam raya ini. Karena kesempurnaan yang sejati hanyalah ada dalam diri Dia Yang Menciptakan. Tapi, izinkan kakak menepati janji-janji yang pernah kuucapkan dulu dengan segala kekuranganku. Izinkan kakak menjadi kakak yang baik untukmu. Kau tau, kakak sudah lebih dulu merasakan pahit manisnya hidup di dunia ini. Kakak memiliki pengalaman yang lebih daripada kau. Tolong dengarkan kakak! Dengarkan setiap amanat yang kakak dapatkan dari pengalaman pahit yang pernah kakak alami. Sungguh, kakak tak ingin kau merasakan pahitnya kejadian yang pernah kakak alami selama mengarungi lautan kehidupan ini. Cukup kakak saja yang pernah mengalami.
Dik, harapan kakak padamu sangatlah besar, meski kakak sadar harapan itu tak sebesar harapan ayah dan ibu. Jadilah adik yang berguna untuk agama, bangsa, dan keluarga. Jadilah adik yang tak pernah mengkhianati Sang Pencipta meski beribu cinta menghadang mencoba memalingkan hatimu dari-Nya. Jadilah adik yang selalu mengukir senyum, tawa, dan bangga pada lembaran hidup ayah dan ibu seperti yang kau lakukan ketika kau masih kanak-kanak. Jadilah seorang penyejuk hati untuk orang-orang di sekelilingmu.
Ambillah setiap sisi baik pada diri kakakmu, Dik! Dan jadikan setiap sisi buruk kakak sebagai pelajaran untukmu. Jika kakak bisa ‘ini’, kau harus bisa lebih dari ‘ini’. Langkahkan kakimu dengan mantap setelah mulutmu mengucap bismillah. Berjuanglah meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Doa kakak tak putus untukmu…

Note :
Untuk para kakak : kau adalah cermin bagi adikmu.
Untuk para adik : jangan pernah melukai perasaan kakakmu.
»»  READMORE...

JANJI

Gadis 18 tahun itu terisak. Bulir-bulir air pada matanya berebut jatuh. Hatinya menjerit namun meski malam itu sepi, tak ada yang mendengar jerit hatinya. Hanya isaknya yang terdengar kelu terbawa hembusan angin malam. Jangkrik-jangkrik diam seolah mereka ikut berduka. Sesak. Gadis itu merasakan sesak dalam hatinya. Hatinya terus berteriak. Berontak. Namun, pisau kasat mata itu terus mencabik-cabik lemah hatinya. Tangan kirinya memeluk erat kedua kakinya, sedang tangan kanannya memegang handphone buntut. Matanya yang sayu menatap layar handphone itu. Tertera sebuah nama. Jempolnya sudah menempel pada tombol ‘panggil’. *** “Kau bodoh sekali, ha?!” bentak lelaki jangkung di depan gadis itu. Gadis itu hanya merunduk tak berani menatap mata elang lelaki itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Kau benar-benar bodoh!!!” lelaki jangkung itu terus membentak. Kakinya berjalan mondar-mandir di depan gadis itu. Kekecewaan yang teramat besar tergambar jelas pada raut wajahnya. Gadis itu tetap diam. Dia mulai terisak. Kerudung panjangnya yang lusuh bergoyang pelan tertiup angin sore. “K-kau… kau…” lelaki itu menunjuk-nunjuk gadis itu, kehilangan kata-kata. Diacak-acak rambutnya yang tadi tersisir rapi, kemudian meremasnya. Hening sejenak. Hanya terdengar isak tangis gadis itu. Juga kicauan burung yang berseliweran di atas akan kembali ke sarangnya. Sang surya perlahan beranjak ke tempat tidurnya hendak istirahat setelah selama kurang lebih 11 jam mengeluarkan energinya. Lelaki 19 tahun itu menghembuskan nafas kuat-kuat. Mata elangnya menatap gadis di depannya yang masih menunduk. “Kartika…” suara lelaki itu melunak. “kau adalah adikku sejak Mas Bayu pergi. Apa kau lupa? Mas Bayu menitipkanmu padaku dan aku menyanggupi. Aku telah berjanji pada Mas-mu. Aku memiliki tanggungjawab untuk menjagamu…” “Kau hanya berjanji untuk menjagaku, Mas…” suara Kartika bergetar. “membantuku bukanlah tanggungjawabmu.” “Kita saudara semuslim, Kartika! Apa kau tak tau? Apa kau tak pernah mendengarkan ceramah Ustadz Sabar bahwa sesama saudara harus saling menolong?” “Tapi tak perlu sebanyak itu, Mas!” nada suara Kartika sedikit meninggi. Isaknya masih berlanjut. Justru air matanya semakin kasar berebut keluar. “Kartika…” “Kau tak perlu berkorban banyak untukku. Tak perlu kau sisakan hasil jerih payah kerjamu untukku dan nenek. Uang itu milikmu, Mas. Aku dan nenek bukan pengemis…” “Kau memang bukan pengemis, Kartika…” “Tapi dengan uang yang kau berikan itu, sama saja kami mengemis padamu, Mas!” suara Kartika meninggi. “Aku hanya berniat membantumu, Kartika!” “Bukan begitu caranya!” “Tapi kau tanggung_” “Berhenti menyebut tanggungjawab itu, Mas!” potong Kartika kasar. Nafasnya menderu cepat seiring dengan bulir air matanya yang semakin deras. “Mas Bayu hanya berpesan padamu untuk menjagaku, Mas. Tak lebih! Meski Mas Bayu meminta Mas Iqbal untuk menjadi mas-ku setelah kepergian Mas Bayu, tapi tetap saja tanggungjawab untuk membiayai hidupku dan nenek tak ada! Mas Iqbal bukan kakak kandungku. Menjagaku, Mas. Hanya menjagaku! Itu amanah dari Mas Bayu,” “Ya, menjagamu memang amanah dari Mas Bayu. Tapi aku pernah berjanji pada mas-mu bahwa aku akan membantumu meraih cita-citamu. Kau harus tetap melanjutkan sekolah, Kartika. Kau harus mewujudkan cita-citamu menjadi dokter. Menerima tawaran lelaki tua itu bukanlah pilihan yang bijak_” “Menjadi dokter tak semudah membalikkan telapak tangan, Mas! Butuh biaya besar. Padahal untuk makan sehari-hari saja sudah susah, apalagi biaya untuk sekolah di universitas kota.” “Aku sudah berjanji pada mas-mu, Kartika! Aku tak ingin mengingkari janjiku,” Iqbal sedikit menekankan ucapannya pada kata terakhirnya. Kartika hanya diam. Air matanya tak henti-hentinya keluar. Semburat warna jingga mulai terlukis di belahan langit barat. Burung-burung yang berseliweran mulai berkurang. “Nenek sakit, Mas. Nenek sudah tak mungkin lagi mengurus ladang. Aku harus menggantikan posisi nenek. Nenek sudah berjuang merawatku dan Mas Bayu sejak bapak dan ibu pergi. Apalagi sejak kepergian Mas Bayu. Nenek sudah berjuang keras untukku. Menyekolahkanku sampai lulus SMA. Hingga terpaksa sering meminjam uang pada Pak Rudi. Meminta tambahan waktu ketika Pak Rudi menagih. Hingga tak sadar bunga itu menumpuk semakin tinggi…” suara Kartika tercekat. “dengan menerima lamaran Pak Rudi, nenek dapat terbebas dari segala utangnya. Dan nenek juga akan dibiayai Pak Rudi berobat di kota. Hanya itu satu-satunya jalan, Mas.” “Tapi, Pak Rudi…” “Aku tau, Mas! Menerima lamaran Pak Rudi sama saja menyandang status sebagai istri keempatnya. Aku tau perangainya. Tapi demi nenek aku rela, Mas. Aku ikhlas. Lillahita’ala,” susah payah Kartika menahan sesak di hatinya. Dia terisak kembali. Iqbal terdiam. Matanya menatap mata gadis itu yang terpejam menahan perih di hatinya. Gadis yang sudah sejak kecil ia kenal. Sejenak lelaki itu ingin memeluk gadis yang sudah ia jaga sejak usianya 12 tahun dan Kartika 11 tahun, tepat setelah kepergian Mas Bayu diusianya yang ke-19. Tangannya sudah hendak meraih tubuh kurus itu, tapi ia urungkan. “Padahal aku benar-benar ingin menjadikanmu sebagai adikku, Kartika…” suara Iqbal sedikit tercekat. “adik yang akan kugandeng menyusuri jalan Allah. Aku sudah berjanji pada diriku dan Mas Bayu, bahwa aku akan meminangmu setelah aku menyelesaikan pendidikanku di universitas. Dan setelah itu, aku akan membantumu mewujudkan cita-citamu…” Isak Kartika sedikit mereda mendengar tuturan Iqbal. Matanya perlahan terbuka tepat menatap mata elang itu. Mata yang memancarkan binar-binar harapan. “Izinkan aku memenuhi janjiku, Kartika…” Kedua bola mata Kartika mencipta bulir-bulir bening. Sedetik kemudian, ia kembali terisak. Terus terisak dan semakin terisak. Ditelungkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia dapat merasakan hatinya mengerang. Tak kuat lagi menahan perih buah dari ribuan pisau yang menyayat semakin ganas. Kartika tau. Karena ia merasakan. Hatinya tak siap menerima kenyataan. Kenyataan bahwa ia akan kehilangan apa yang ia inginkan. Yang sejak tadi memanggil-manggil namanya, meski hanya telinga Kartika saja yang mendengar. Kartika sadar, ia telah berdiri di ambang pintu itu. Ia telah mengubur semua mimpi-mimpinya. *** Kartika, gadis yatim piatu yang tinggal bersama nenek dan seorang kakak laki-lakinya. Bapaknya meninggal ketika Kartika lahir. Sedang ibunya meninggal karena sakit parah yang dideritanya, ketika Kartika masih berusia 5 tahun, dan Bayu berusia 12 tahun. Meski ia saat itu masih sangat kecil, ia sudah dapat merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai. Karena itu, Kartika kecil ingin sekali menjadi dokter. Berharap ia dapat menyembuhkan orang lain yang butuh pertolongan sehingga ada harapan banyak untuk orang itu tetap berkumpul bersama keluarga. Keinginannya menjadi dokter ia ungkapkan pada Bayu, kakaknya yang masih duduk di bangku SMP kelas 7. Mendengar celotehan Kartika kecil, Bayu terharu. Dalam hatinya ia berjanji akan membantu adik satu-satunya mewujudkan impiannya. Meski ia harus mengorbankan seluruh hidupnya. Walaupun masih berusia 12 tahun, kedewasaan Bayu sudah terlihat. Setiap pulang sekolah ia mencari uang dengan membantu para penambang pasir di desanya. Beberapa uang yang ia dapatkan ditabung dan beberapa diserahkan kepada nenek untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Lulus SMP ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Ia sadar, nenek sudah banting tulang menyekolahkannya dan Kartika yang masuk SD beberapa tahun lalu. Lagipula, ia sudah berjanji akan membantu adiknya mewujudkan cita-citanya. Karena itu, Bayu semakin giat bekerja. Naas, Bayu mengalami kecelakaan ketika ia sedang bekerja. Truk pasir yang ia kemudikan mendadak remnya blong sehingga ia kehilangan kendali dan masuk ke dalam jurang. Bayu sempat dibawa ke Rumah Sakit. Namun, beberapa jam setelah itu ia menghembuskan nafas terakhir sebelum ia meminta Iqbal (adik temannya yang sudah meninggal) untuk menjaga Kartika. Iqbal menyanggupi. Ia sudah sangat akrab dengan Bayu, Kartika dan nenek. Sejak saat itu, Iqbal banyak membantu Kartika dan nenek. Iqbal adalah kakak kelas Kartika semasa ia sekolah. Sejak lulus SD, ia hanya tinggal bersama ibunya yang hanya menjadi buruh tani di desanya. Bapaknya sudah meninggal karena ledakan besar di tempat kerja bapaknya. Setelah lulus SMP, ia tinggal seorang diri di sebuah gubuk reyot yang bersebelahan dengan rumah Kartika. Ibunya memutuskan bekerja sebagai TKW di negeri seberang. Ia tetap melanjutkan sekolah meski sepulang sekolah ia harus mencari tambahan uang, berjaga-jaga jika kiriman ibunya tiap bulan tidak kunjung tiba. Bahkan ia tetap bisa melanjutkan sekolah di universitas kota dengan uang hasil pekerjaannya dan kiriman ibunya. Tak lupa ia juga menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung. Sudah sejak SD Iqbal menyukai Kartika. Saat itu Iqbal kecil belum tau apa-apa soal ‘cinta’. Ia hanya tau bahwa ia menyukai Kartika. Ia juga tak ingin tau bagaimana perasaan Kartika padanya. Sikap Kartika yang baik padanya membuatnya enggan menanyakannya dan juga mengungkapkannya. Dan, entah kenapa perasaan itu tidak terhapus sampai ia menginjak dewasa. *** Kartika menoleh ke belakang. Di atas bukit itu, ia dapat melihat sebuah rumah mewah dengan halaman yang luas. Lampu-lampu terang menerangi membuat rumah mewah itu terlihat begitu kontras dengan rumah-rumah reyot di sekelilingnya. Tampak orang-orang terlihat sibuk menata tenda dan hiasan bunga-bunga imitasi. Matanya juga menangkap sosok lelaki tua berusia 45 tahun tengah berdiri di samping sebuah tenda. Meski Kartika ada di atas bukit, tapi ia dapat melihat raut gembira yang tergambar di wajah lelaki tua itu. Ia kembali memalingkan wajahnya pada handphone yang ia genggam. Jempolnya masih menempel pada tombol ‘panggil’. Sambil memejamkan mata, ia menekan tombol itu. Tut… tut… 5 detik berlalu, tak ada jawaban. 10 detik. 15 detik. Kartika menggigit bibir bawahnya. 20 detik. “Asalamualaikum,” sapa orang di seberang. Butuh beberapa detik untuk Kartika mengumpulkan kesadarannya. Ia mengerjap sebentar. Menghela nafas panjang. “Halo?” “Wa’alaikumussalam,” suaranya mencicit. “Maaf, dengan siapa?” suara itu terdengar ramah. Mata Kartika mulai berkaca-kaca. Ia kembali menggigit bibirnya. Berusaha kuat-kuat menahan tangisnya agar tak tumpah. “M-mas I-Iqbal… m-maaf…” “Kartika?! Ini kamu, kan? K-kau baik-baik saja?” suara di seberang terdengar begitu bahagia. Seolah baru saja memenangkan hadiah ratusan juta rupiah. Bintang-bintang di langit berkelip-kelip dalam bisu. Perlahan satu persatu mulai meredup. Seolah mereka ikut merasakan sakit yang dirasakan Kartika yang tak tahan lagi menahan tangis. -SELESAI- Lymnea-Kid, 9 September 2011 komen-men komen komeeeennn... :D bagi bagi komen donnkkk... :) terima kasiiihhh....
»»  READMORE...

If a Moslem Felling in Love...

Assalamu’alaikum w.w., Sahabat, tau apa itu cinta kan? Itu lho, makanan yang terbuat dari singkong yang udah di keringkan terus dijemur terus ditumbuk, digulung2 (?) sedemikian rupa, lalu ditanakkan. Paling cocok dimakan pake sambal atau daun ketela! Apa? Eh, iya itu thiwul makanan kesukaan saya! *nyengir tanpa dosa* *pembaca: sweatdrop* Hehe… ya cinta. Tau kan? Udah deh, ngangguk aja biar aku nggak perlu jelasin panjang lebar *maksa*. Yang nggak tau ntar tanya rumput yang bergoyang aja! (?) Well, aku mau cerita sekaligus sharing dengan kalian. Suatu sore, aku sedang mendengarkan radio paporitku. Kebetulan acara di radio itu membahas tentang “cinta”. Cit cuiiiittt… *ayam berkotek (?)* Nah, jadi di situ, mas-mas penyiar mengajukan pertanyaan. Eh enggak! Pernyataan dulu dink! Bahwa cinta itu fitrah. Setiap orang pasti pernah merasakannya. Tapi sayangnya banyak yang salah menempatkan cinta itu sehingga cinta itu tak berkembang sebagaimana mestinya. Nah, pertanyaannya, “Apa yang harus dilakukan seorang remaja muslim jika sudah terlanjur terserang VMJ (Virus Merah Jambu)?” Nah, setelah itu, mas-mas penyiarnya bertanya pada narasumber. Beliau adalah seorang uztadz. Nah penjelasan uztadz tersebut, kurang lebih begini: Jika kita sedang ber”merah-merah jambu” hal yang harus pertama kali kita lakukan adalah, bersyukur. Karena artinya, hati kita masih peka terhadap apa yang ada di sekeliling kita. Tapi, kita harus ekstra super (?) menjaga hati kita. Nah, enaknya, kalo yang udah berumur matang dan siap berkeluarga, langsung aja ajak nikah. Buat, ikhwan, langsung aja gaet tuh ukhti, daripada setan ikut campur urusan cinta itu. Nah, buat para ukhti, sebernarnya nggak papa kok, kalo ada seorang ukhti yang mengajukan diri untuk minta dinikahi. Tapi, tetap namanya bukan ukhti nglamar akhi, ya! Karena tetap aja kalo yang nglamar tu harus ikhwan pada akhwat. Nah, kalo yang itu, namanya hanya mengajukan diri. Jangan ketawa! Bunda Khotijah, istri Rasulullah aja dulu mengajukan diri pada Rasululllah lho! Itu tandanya, beliau ingin menjaga kehormatan dirinya. Nah, jadi nggak ada salahnya seorang ukhti mengajukan diri pada seorang akhi yang ia sukai. Karena, ingat! (Khususnya buat para ukhti) bahwa laki-laki di dunia ini jumlahnya lebih sedikit dari pada wanita. Dan ikhwan yang benar-benar sholeh jumlahnya lebih sedikit lagi. Jadi, buat para ukhti, jangan pernah menyia-nyiakan ikhwan sholeh! Gaetlah ia sebelum ada ukhti lain yang merebutnya! (xD sumpah aku ketawa terus setiap inget kata-kata uztadz itu!) Nah, bagi yang belum siap nikah, ingat senandung dari Aa’ Gym. “Jagalah hati, jangan kau nodai, jagalah hati, lentera hidup ini…”. Baiknya kita menjaga hati dan pikiran agar setan tidak ikut campur dalam urusan itu. Karena, kalo setan udah ikut ngontrol perasaan kita. Wah, jadi berabe deh! Lama-lama hati jadi beku dan sulit nerima kebaikan yang diluar. Telinga tersumbat, mata jadi “buta”. Ah, pokoknya indra yang dimiliki jadi berkurang kepekaannya. Aduh, jangan sampe gitu, deh! Apalagi sampe ada prinsip, “Aku cinta mati sama kamu.” Adyuh, biyuh… tobit deh kalo udah gitu! Hati-hati pokoknya. Satu hal lagi yang harus dilakukan. Jangan pernah membuat komitmen dengan orang yang kamu sukai ketika kamu belum siap menikah. Kan ada tuh, yang udah janji sama pasangannya kalo mau mencintainya sampai akhir hayat, eh, tapi ternyata belum ada “selangkah” udah goyah setelah ngliat gadis/laki-laki lain. Nah, yang pasti itu melukai perasaan orang itu, donk! Udah bilang “aku janji akan bla3…” dibela-belain nolak cowok lain (misal) eh, ternyata janji-janji tadi langsung nguap. Ah, kejem banget mah itu! Kalo yang gituan mah, minta digolok (huooo… bercanda!). Yah, kan kita emang nggak tau to kedepannya bakal gimana. Nah, pokoknya fokuskan dulu cintamu pada Allah Sang Cinta Sejati. Setelah itu pada Rasulullah, kemudian pada orang tua atau kerabat lain. Barulah, setelah itu boleh siapa aja. Asalkan ketiga itu (urut) wajib! Enggak boleh geser dan pertahankan posisi mereka jangan sampai ada yang menggeser. Karena hakikat cinta yang sebenarnya semua kembali kepada Dia, Sang Pencipta. :) By the way, aku suka kata-kata dari senandung Maidany yang berjudul “Jangan Jatuh Cinta”. Bunyinya gini, “Tuhanku, berikan kucinta yang Kau titipkan, bukan cinta yang pernah kutanam…” Ekhem! xD haha! Apik! Aku suka! Heheheh… Jangan tanya ada “sesuatu” apa dalam diriku kok, jadi nulis tentang ini! heheh… jangan pernah tanya, dan jangan pernah berharap aku akan menjawabnya! :P Dan satu lagi, jangan pernah menebak! xD Karena tujuan utama aku nulis ini, aku ingin berbagi ilmu yang pernah kudapat dengan kalian. :) kalo faktor-faktor lain, aku yakin itu muncul sendiri dalam benak kalian. Ini kayaknya aku njawab ya? (-,-“)a Oke, that’s what I want to share with you. Semoga bermanfaat :) Jazakallahu khoir… Wassalamu’alaikum w.w.
»»  READMORE...

BINTANG BIRU

Hatiku mendadak sesak. Pikiranku berlari ke mana-mana. Mataku kabur oleh bulir-bulir air yang mulai terbentuk di pelupuk mata. Kesadaranku berontak ingin pergi, tapi hatiku berkata “TIDAK!”. Kakiku terasa lemas berdiri tegak menopang beban yang tiba-tiba menindihku. Tanganku gemetar menutup bibirku yang beku.
“Kamu salah!”
Aku berlari meninggalkan papan pengumuman dan temanku, Ima. Tak kupedulikan teriakan Ima memintaku untuk berhenti. Aku kecewa! Aku marah! Aku benci diriku sendiri! Namaku tak tertera pada selembar kertas di papan pengumuman tadi. Dan Ima, temanku! Dia lolos! Argh!!! Aku iri, Tuhan! Aku iri! Aku ingin lolos seleksi itu! Apa Kau tak melihat perjuanganku selama ini? Mencari bahan bacaan sendiri, belajar sendiri tanpa seorang ahli, menghabiskan uangku demi buku-buku yang kucari. Di mana keadilan-Mu? Ah! pikiranku kacau! Hatiku tiba-tiba membeku.
Aku tak dapat membendung air di pelupuk mataku lagi. Perlahan, satu persatu bulir air menetes mewakili kekecewaanku yang teramat besar. Ima memelukku. Dia tak mengatakan apa-apa, tapi aku dapat merasakan keprihatinannya. Entah ada apa, tapi sikap Ima mampu membuat kesadaranku mulai terbuka. Aku beristigfar pelan. Mencoba mengendalikan pikiran dan hatiku yang hampir terbakar.
Ifa, kau gagal. Ya kali ini aku gagal. Untuk yang pertama kalinya aku mencoba seleksi olimpiade Astronomi di sekolah baruku. Aku sadar ilmu astronomi yang kudapat masih sedikit. Karena memang belum lama aku mulai tertarik ilmu itu. Semua berawal dari sebuah rasi bintang pertama kali yang kulihat. Gubug penceng atau Crux. Empat bintang yang membentuk formasi layang-layang itu tertangkap kedua bola mataku saat aku masih duduk di bangku SD. Semenjak itu, aku semakin rajin mengamati langit malam, terutama Crux yang mudah ditemukan pada langit selatan di bulan Mei sampai Juli akhir. Masuk SMP aku semakin tergila-gila dengan bintang (namun, walau begitu aku tidak menyukai ilmu astrologi yang mengarah pada kesesatan). Setiap malam pada bulan-bulan kemunculan Crux, aku sering menatapnya sambil mencurahkan isi hatiku pada empat bintang itu, yang kupanggil “Bintang Sahabat”. Semakin besar ketertarikanku pada ilmu perbintangan membuatku berburu buku-buku yang menyangkut tentang ilmu itu. Masuk SMA, aku merasa seperti mendapat secercah peluang ketika sekolah menyebar angket pendaftaran peserta olimpiade dan Astronomi menempati salah satu poin yang tertera. Walau sempat bingung memilih antara Biologi, Astronomi dan Debat Bahasa Inggris, akhirnya kulingkari poin astronomi. Ini peluangku.
Tapi, akhirnya tak seperti yang aku harapkan. Mungkin memang bukan sekarang Tuhan mengizinkan aku untuk mengikuti perlombaan itu. Lain kali. Dan aku harap waktu itu masih Ia sediakan.
***
Beberapa bulan setelah pengumuman itu, aku mulai terbiasa. Meski aku gagal, tapi kegagalan itu justru membuatku semakin tertantang. Aku kembali mencari referensi untuk tambahan ilmuku. Di salah satu social network, aku bergabung dalam grup yang menyediakan tanya-jawab seputar ilmu astronomi. Dan setiap malam yang cerah, kusempatkan skygazing sambil membawa peta bintang atau laptopku yang tersedia aplikasi simulasi bintang. Sedikit demi sedikit aku mulai hafal posisi-posisi bintang dan konstelasinya.
Aku semakin semangat mendalami ilmu astronomi, ketika aku sadar banyak orang-orang di sekelilingku yang mendukungku. Ayahku yang memperkenalkanku pada aplikasi simulasi bintang, ibu yang membelikanku tambahan koleksi buku astronomiku, sahabat-sahabatku yang selalu menyemangatiku, termasuk Ima. Ya, rasa iri itu telah terkikis habis.
***
Hari itu akhirnya datang lagi. Hari di mana sekolah mulai menyebarkan angket pendaftaran peserta olimpiade. Aku yang mengikuti program IPA di kelas XI perlahan-lahan mulai tertarik dengan Kimia. Hal itu membuatku sedikit bingung memilih antara astronomi dan kimia. Namun, dengan tekad bulat, akhirnya kuputuskan melingkari poin astronomi lagi. Berharap, kegagalan tahun lalu dapat terbalas.
***
Hari ini adalah hari seleksi peserta olimpiade dilaksanakan. Malam sebelumnya, aku membaca semua buku-buku astronomiku dan catatan-catatan yang kubuat. Ada “segumpal” rasa optimis dan percaya diri dalam diriku. Meski aku tahu aku memiliki saingan berat, tapi itu tak begitu mengusikku.
Aku sempat kaget ketika menerima soal yang dibagikan guru. Sama dengan tahun lalu! Ada empat materi di dalamnya. Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, dan Astronomi. Aku memutuskan mengerjakan bagian soal-soal astronomi dulu. Satu persatu aku mulai mengerjakan soal-soal itu, memang tak sepenuhnya berjalan lancar. Aku mengalami beberapa kesulitan karena aku belum pernah membaca atau mendapatkan materi yang sejenis itu. Aku mencoba tetap tenang meski aku merasa rasa optimis dan percaya diriku sedikit memudar.
Di kelas Bahasa Indonesia I, tinggal tiga peserta yang tersisa termasuk aku. Hiruk-pikuk sudah terdengar dari luar. Kulihat lembar jawabanku. Semua telah terisi, meski tak sedikit juga yang asal kusilang. Aku mencoba tetap berkonsentrasi pada soal. Aku tak peduli dengan perkataan Bu Pengawas yang mengatakan, “Tinggal kelas ini yang belum,” namun lebih terdengar seperti, “Ayo, cepetan dikumpulkan lembar jawabnya!”. Satu hal yang membuatku tetap bertahan meneliti pekerjaanku adalah, AKU INGIN LOLOS!
Sepuluh menit kemudian, aku memutuskan memberesi alat tulisku dan mengumpulkan lembar jawabanku. Tak lama, kedua peserta yang lain menyusul.
Keluar dari ruangan seleksi, pikiranku masih dihantui dengan soal-soal tadi. Dan bayangan-bayangan usahaku mempelajari materi sebelum hari H terputar tanpa jeda. Bahkan hal yang kubenci dari hari ini ikut terputar. Tanganku yang menyilang asal pada lembar jawaban. Aku benci itu, Tuhan! Sungguh, tak pernah sekalipun aku menginginkan itu! Mataku terasa panas. Susah payah aku menahan agar bendungan air yang terbentuk di pelupuk mataku tidak pecah.
Ya Rabb, kau lihat tangan kanan tadi? Dia menyilang pilihan bukan berdasarkan pikiran tapi perasaan. Kau lihat usahaku memahami materi-materi yang kucari sendiri? Apakah aku terlalu bodoh, Rabbi? Sampai soal-soal semacam itu, soal yang pernah aku temui sebelumnya, tak bisa kujinakkan dengan baik? Apa mimpiku untuk menjadi seorang astronom akhwat pertama terlalu tinggi, Rabbi? Sehingga untuk seleksi peserta olimpiade ini Engkau tumpulkan otakku? Ya Rabb, sungguh aku iri dengan mereka. Mereka yang berhasil menciptakan satelit, mereka yang pernah meninggalkan bumi untuk sementara, mereka yang cerdas, mereka yang inovatif. Aku ingin seperti mereka. Mengukir sejarah baru untuk agamaku, negaraku, dan kehidupanku. Sungguh, aku yakin Engkau tahu seberapa besar keinginanku demi terwujudnya mimpi-mimpiku.
Ini adalah kesempatan terakhirku, Ya Rabb! Dan mungkin yang terakhir dalam hidupku. Perkenankanlah diriku menggenggam semua mimpi-mimpiku. Aku sadar dengan kekuranganku, kejelekanku, kebodohanku yang pasti tak akan berhenti menghambat jalanku meraih mimpi-mimpiku. Tapi aku sadar akan besarnya harapanku yang memicuku untuk tidak menyerah begitu saja. Karena aku tahu, mimpi-mimpiku tak dapat berjalan dengan sendirinya padaku, tapi aku yang harus menjemput mimpi-mimpi itu. Kumohon, ya Rabb. Izinkan aku menggapai satu bintang ini.
***
Kuterobos kerumunan di depanku. Dapat kurasakan degup jantungku terpacu lebih cepat. Tanganku gemetar menelusuri satu persatu nama-nama yang tertera pada selembar kertas yang tertempel di papan putih selebar 2 x 1.5 meter itu. Mataku liar mengamati data yang tertera satu persatu takut-takut ada yang terlewati.
Tiba-tiba jari telunjukku berhenti pada satu nama. Sejenak, aku lupa bagaimana caranya bernafas. Kurasakan jantungku berhenti untuk sepersekian detik. Kesadaranku hampir terbang, namun seperti ada tangan kasat mata yang menampar kesadaranku dan memaksanya kembali. Pandanganku mulai kabur oleh bulir-bulir air yang mengumpul pada mataku. Sesak. Ya, aku merasa sesak lagi kali ini. Tapi ini lain.
Aku duduk sendiri di tengah gelapnya malam di depan rumah. Lampu rumah depan sengaja kumatikan agar tidak mengganggu pengamatanku kali ini. Udara dingin menusuk sampai tulang-tulangku. Kutengadahkan pandanganku ke atas. Subhanallah… langit seperti sebuah hamparan kain hitam dengan permata yang berserakan di atasnya. Nyanyian hewan malam terdengar seolah mereka merayakan keindahan kuasa Tuhan.
Kukeluarkan peta bintang dan kusenteri dengan senter kecil. Kucocokkan waktu dan harinya. Kemudian secara bergiliran mulai kucocokkan lukisan yang dibentuk oleh permata langit dengan yang ada pada peta bintangku. Mimosa, Rigil Centauri, Hadar, Antares, Spica. Satu setengah jam, aku tak bosan menjelajahi langit dengan mataku.
Tanpa kusadari, sebuah bintang biru di atas sana bersinar semakin cerah. Seolah dia baru saja mendapat tambahan energi untuk bersinar.
Tes…
Aku tersenyum pada sahabatku. Kululurkan sebuah buku tua bersampul merah padanya.
“Makasih ya,” ucapku tulus.
Dia balas tersenyum sambil mengangguk. “Sudah di copy?”
Aku mengangguk, masih tersenyum. Kutunjukkan sebuah duplikat buku bersampul merah tadi. Bedanya yang ini bersampul biru. PERJALANAN MENGENAL ASTRONOMI, tulisan besar pada sampul biru itu hanya kutulis dengan spidol hitam. Kupeluk sahabatku karena senangnya. Beruntung, sahabatku, Devi meminjamkan buku milik kakaknya padaku. Ya, dengan tambahan buku ini, aku semakin semangat mempelajari ilmu astronomi.
Tanpa kusadari, bintang biru itu telah bersiap diri. Dia mengenakan pakaian terindahnya.
Tes… tes…
Materi ini begitu sulit kupahami. Berkali-kali kubaca tapi tak banyak yang dapat kutangkap dan kusimpan dalam memoriku. Aku tak gentar. Semilir angin siang yang membelaiku, seolah ingin membantuku menenangkan pikiran dan hatiku, agar memudahkanku memahami materi. Tanpa guru, tanpa seorang ahli, aku memahami seorang diri.
Tanpa kusadari, bintang biru itu tersenyum lebar. Sinarnya semakin terang. Elok rupawan mengalahkan Sirius yang terterang.
“Ifa, gimana?” Ara, sahabatku yang selama ini tak henti-hentinya mendukungku, berjalan santai menghampiriku.
Kupalingkan wajahku padanya. Mataku berkaca-kaca. Tanpa pikir panjang langsung kupeluk tubuh sahabatku. Aku mendesah panjang mengeluarkan segala rasa khawatirku sejak pagi.
Satu-satunya bintang yang terlihat siang ini meredupkan cahayanya, enggan mengeluarkan seluruh energinya. Matanya terpaku pada bintang biru terang yang ada dalam genggamanku.
-SELESAI-
Tandjunk Permai, 26 Ramadhan 1432
»»  READMORE...

Setialah sahabat :)

Setialah sahabat, meski banyak temanmu yang tak setia padamu.
Jangan pelit menyediakan banyak waktumu untuk temanmu meski mereka hanya meluangkan sedikit waktunya untukmu.
Bantulah mereka semampumu meski hanya jika sempat saja mereka akan membantumu.
Ingatkan temanmu jika mereka berbuat salah meski mereka tak sedikitpun memedulikanmu.
Ajaklah mereka dalam kebaikan meski mereka selalu menganggap kata-katamu sebagai angin lalu.
Tetaplah tersenyum meski hatimu berontak haus keadilan.
Dan suatu hari nanti saat ragamu tak lagi dapat dilihat, bayangmu akan terus beterbangan dalam angan mereka bersama semua kebaikan yang pernah kau lakukan.
Setialah sahabat, meski pahit balasan yang kau terima dari mereka. Percayalah, balasan Allah jauh lebih indah dari apa yang kau inginkan dari mereka.
»»  READMORE...

Say Helo^^

Assalamu'alaikum ... :)
Alhamdulillah akhirnya blogku jadi juga setelah melewati sesi kakean-takon dengan sahabatku :D hehehe... thanks a lot for helping me... x)
well, sebenarnya blog ini adalah blog keduaku. yang pertama? tak sengaja kutelantarkan. huhu... kejem ya? enggak dink janjane (?) emang waktu itu aku belum bisa ngurus blog aja... bweheh... iya, iya aku tau dia jadi korban kekejamanku. Ya afwan afwan... nggak bermaksud gitu... yah... moga aja blog yang kedua ini bisa kurawat dan kubesarkan sehingga jadi seorang (?) blog yang sholehah dan berguna bagi nusa dan bangsa *nyengir tanpa dosa*
Ada yang tanya,
"apa alasanku bikin blog lagi padahal yang pertama aja udah jadi korban?" (fakta : nggak ada yang tanya)
ehm... oke, pertama karena aku pengen punya blog.
"untuk apa?"
untuk menyalurkan bakat coret-coretan gejeku.
"apa lagi?"
Tugas sekolah!!! :D haha! enggak lucu ya? haha! *pembaca: sweatdrop* ya, tugas sekolah. awalnya nggak nyangka kalo materi kelas XI ada yang tentang blogging. ah, tau dari dulu, udah buat blog dari zaman baheula. lah ini mefet je... pake ngrefotin temen segala lage... -,- huhu... maaf maaf...
ehm... well, karena itu, dengan lahirnya blog baruku ini, mari sama-sama kita mengheningkan cipta *pembaca: siap2 nglempar panci* eh, maksudnya mohon doanya semoga blog ini dapat kuurus dengan baik. dan semoga kelak blog ini dapat terus melahirkan tulisan-tulisan raje-ku (mbah buyutnya geje) yang dapat menyenangkan hati para pembaca sekalian *wide smile*
well, i think it's enough for saying hello ^^ thank you so much for reading...
wassalamu'alaikum w.w.
»»  READMORE...