Pages

JANJI

Share this history on :
Gadis 18 tahun itu terisak. Bulir-bulir air pada matanya berebut jatuh. Hatinya menjerit namun meski malam itu sepi, tak ada yang mendengar jerit hatinya. Hanya isaknya yang terdengar kelu terbawa hembusan angin malam. Jangkrik-jangkrik diam seolah mereka ikut berduka. Sesak. Gadis itu merasakan sesak dalam hatinya. Hatinya terus berteriak. Berontak. Namun, pisau kasat mata itu terus mencabik-cabik lemah hatinya. Tangan kirinya memeluk erat kedua kakinya, sedang tangan kanannya memegang handphone buntut. Matanya yang sayu menatap layar handphone itu. Tertera sebuah nama. Jempolnya sudah menempel pada tombol ‘panggil’. *** “Kau bodoh sekali, ha?!” bentak lelaki jangkung di depan gadis itu. Gadis itu hanya merunduk tak berani menatap mata elang lelaki itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Kau benar-benar bodoh!!!” lelaki jangkung itu terus membentak. Kakinya berjalan mondar-mandir di depan gadis itu. Kekecewaan yang teramat besar tergambar jelas pada raut wajahnya. Gadis itu tetap diam. Dia mulai terisak. Kerudung panjangnya yang lusuh bergoyang pelan tertiup angin sore. “K-kau… kau…” lelaki itu menunjuk-nunjuk gadis itu, kehilangan kata-kata. Diacak-acak rambutnya yang tadi tersisir rapi, kemudian meremasnya. Hening sejenak. Hanya terdengar isak tangis gadis itu. Juga kicauan burung yang berseliweran di atas akan kembali ke sarangnya. Sang surya perlahan beranjak ke tempat tidurnya hendak istirahat setelah selama kurang lebih 11 jam mengeluarkan energinya. Lelaki 19 tahun itu menghembuskan nafas kuat-kuat. Mata elangnya menatap gadis di depannya yang masih menunduk. “Kartika…” suara lelaki itu melunak. “kau adalah adikku sejak Mas Bayu pergi. Apa kau lupa? Mas Bayu menitipkanmu padaku dan aku menyanggupi. Aku telah berjanji pada Mas-mu. Aku memiliki tanggungjawab untuk menjagamu…” “Kau hanya berjanji untuk menjagaku, Mas…” suara Kartika bergetar. “membantuku bukanlah tanggungjawabmu.” “Kita saudara semuslim, Kartika! Apa kau tak tau? Apa kau tak pernah mendengarkan ceramah Ustadz Sabar bahwa sesama saudara harus saling menolong?” “Tapi tak perlu sebanyak itu, Mas!” nada suara Kartika sedikit meninggi. Isaknya masih berlanjut. Justru air matanya semakin kasar berebut keluar. “Kartika…” “Kau tak perlu berkorban banyak untukku. Tak perlu kau sisakan hasil jerih payah kerjamu untukku dan nenek. Uang itu milikmu, Mas. Aku dan nenek bukan pengemis…” “Kau memang bukan pengemis, Kartika…” “Tapi dengan uang yang kau berikan itu, sama saja kami mengemis padamu, Mas!” suara Kartika meninggi. “Aku hanya berniat membantumu, Kartika!” “Bukan begitu caranya!” “Tapi kau tanggung_” “Berhenti menyebut tanggungjawab itu, Mas!” potong Kartika kasar. Nafasnya menderu cepat seiring dengan bulir air matanya yang semakin deras. “Mas Bayu hanya berpesan padamu untuk menjagaku, Mas. Tak lebih! Meski Mas Bayu meminta Mas Iqbal untuk menjadi mas-ku setelah kepergian Mas Bayu, tapi tetap saja tanggungjawab untuk membiayai hidupku dan nenek tak ada! Mas Iqbal bukan kakak kandungku. Menjagaku, Mas. Hanya menjagaku! Itu amanah dari Mas Bayu,” “Ya, menjagamu memang amanah dari Mas Bayu. Tapi aku pernah berjanji pada mas-mu bahwa aku akan membantumu meraih cita-citamu. Kau harus tetap melanjutkan sekolah, Kartika. Kau harus mewujudkan cita-citamu menjadi dokter. Menerima tawaran lelaki tua itu bukanlah pilihan yang bijak_” “Menjadi dokter tak semudah membalikkan telapak tangan, Mas! Butuh biaya besar. Padahal untuk makan sehari-hari saja sudah susah, apalagi biaya untuk sekolah di universitas kota.” “Aku sudah berjanji pada mas-mu, Kartika! Aku tak ingin mengingkari janjiku,” Iqbal sedikit menekankan ucapannya pada kata terakhirnya. Kartika hanya diam. Air matanya tak henti-hentinya keluar. Semburat warna jingga mulai terlukis di belahan langit barat. Burung-burung yang berseliweran mulai berkurang. “Nenek sakit, Mas. Nenek sudah tak mungkin lagi mengurus ladang. Aku harus menggantikan posisi nenek. Nenek sudah berjuang merawatku dan Mas Bayu sejak bapak dan ibu pergi. Apalagi sejak kepergian Mas Bayu. Nenek sudah berjuang keras untukku. Menyekolahkanku sampai lulus SMA. Hingga terpaksa sering meminjam uang pada Pak Rudi. Meminta tambahan waktu ketika Pak Rudi menagih. Hingga tak sadar bunga itu menumpuk semakin tinggi…” suara Kartika tercekat. “dengan menerima lamaran Pak Rudi, nenek dapat terbebas dari segala utangnya. Dan nenek juga akan dibiayai Pak Rudi berobat di kota. Hanya itu satu-satunya jalan, Mas.” “Tapi, Pak Rudi…” “Aku tau, Mas! Menerima lamaran Pak Rudi sama saja menyandang status sebagai istri keempatnya. Aku tau perangainya. Tapi demi nenek aku rela, Mas. Aku ikhlas. Lillahita’ala,” susah payah Kartika menahan sesak di hatinya. Dia terisak kembali. Iqbal terdiam. Matanya menatap mata gadis itu yang terpejam menahan perih di hatinya. Gadis yang sudah sejak kecil ia kenal. Sejenak lelaki itu ingin memeluk gadis yang sudah ia jaga sejak usianya 12 tahun dan Kartika 11 tahun, tepat setelah kepergian Mas Bayu diusianya yang ke-19. Tangannya sudah hendak meraih tubuh kurus itu, tapi ia urungkan. “Padahal aku benar-benar ingin menjadikanmu sebagai adikku, Kartika…” suara Iqbal sedikit tercekat. “adik yang akan kugandeng menyusuri jalan Allah. Aku sudah berjanji pada diriku dan Mas Bayu, bahwa aku akan meminangmu setelah aku menyelesaikan pendidikanku di universitas. Dan setelah itu, aku akan membantumu mewujudkan cita-citamu…” Isak Kartika sedikit mereda mendengar tuturan Iqbal. Matanya perlahan terbuka tepat menatap mata elang itu. Mata yang memancarkan binar-binar harapan. “Izinkan aku memenuhi janjiku, Kartika…” Kedua bola mata Kartika mencipta bulir-bulir bening. Sedetik kemudian, ia kembali terisak. Terus terisak dan semakin terisak. Ditelungkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia dapat merasakan hatinya mengerang. Tak kuat lagi menahan perih buah dari ribuan pisau yang menyayat semakin ganas. Kartika tau. Karena ia merasakan. Hatinya tak siap menerima kenyataan. Kenyataan bahwa ia akan kehilangan apa yang ia inginkan. Yang sejak tadi memanggil-manggil namanya, meski hanya telinga Kartika saja yang mendengar. Kartika sadar, ia telah berdiri di ambang pintu itu. Ia telah mengubur semua mimpi-mimpinya. *** Kartika, gadis yatim piatu yang tinggal bersama nenek dan seorang kakak laki-lakinya. Bapaknya meninggal ketika Kartika lahir. Sedang ibunya meninggal karena sakit parah yang dideritanya, ketika Kartika masih berusia 5 tahun, dan Bayu berusia 12 tahun. Meski ia saat itu masih sangat kecil, ia sudah dapat merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai. Karena itu, Kartika kecil ingin sekali menjadi dokter. Berharap ia dapat menyembuhkan orang lain yang butuh pertolongan sehingga ada harapan banyak untuk orang itu tetap berkumpul bersama keluarga. Keinginannya menjadi dokter ia ungkapkan pada Bayu, kakaknya yang masih duduk di bangku SMP kelas 7. Mendengar celotehan Kartika kecil, Bayu terharu. Dalam hatinya ia berjanji akan membantu adik satu-satunya mewujudkan impiannya. Meski ia harus mengorbankan seluruh hidupnya. Walaupun masih berusia 12 tahun, kedewasaan Bayu sudah terlihat. Setiap pulang sekolah ia mencari uang dengan membantu para penambang pasir di desanya. Beberapa uang yang ia dapatkan ditabung dan beberapa diserahkan kepada nenek untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Lulus SMP ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Ia sadar, nenek sudah banting tulang menyekolahkannya dan Kartika yang masuk SD beberapa tahun lalu. Lagipula, ia sudah berjanji akan membantu adiknya mewujudkan cita-citanya. Karena itu, Bayu semakin giat bekerja. Naas, Bayu mengalami kecelakaan ketika ia sedang bekerja. Truk pasir yang ia kemudikan mendadak remnya blong sehingga ia kehilangan kendali dan masuk ke dalam jurang. Bayu sempat dibawa ke Rumah Sakit. Namun, beberapa jam setelah itu ia menghembuskan nafas terakhir sebelum ia meminta Iqbal (adik temannya yang sudah meninggal) untuk menjaga Kartika. Iqbal menyanggupi. Ia sudah sangat akrab dengan Bayu, Kartika dan nenek. Sejak saat itu, Iqbal banyak membantu Kartika dan nenek. Iqbal adalah kakak kelas Kartika semasa ia sekolah. Sejak lulus SD, ia hanya tinggal bersama ibunya yang hanya menjadi buruh tani di desanya. Bapaknya sudah meninggal karena ledakan besar di tempat kerja bapaknya. Setelah lulus SMP, ia tinggal seorang diri di sebuah gubuk reyot yang bersebelahan dengan rumah Kartika. Ibunya memutuskan bekerja sebagai TKW di negeri seberang. Ia tetap melanjutkan sekolah meski sepulang sekolah ia harus mencari tambahan uang, berjaga-jaga jika kiriman ibunya tiap bulan tidak kunjung tiba. Bahkan ia tetap bisa melanjutkan sekolah di universitas kota dengan uang hasil pekerjaannya dan kiriman ibunya. Tak lupa ia juga menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung. Sudah sejak SD Iqbal menyukai Kartika. Saat itu Iqbal kecil belum tau apa-apa soal ‘cinta’. Ia hanya tau bahwa ia menyukai Kartika. Ia juga tak ingin tau bagaimana perasaan Kartika padanya. Sikap Kartika yang baik padanya membuatnya enggan menanyakannya dan juga mengungkapkannya. Dan, entah kenapa perasaan itu tidak terhapus sampai ia menginjak dewasa. *** Kartika menoleh ke belakang. Di atas bukit itu, ia dapat melihat sebuah rumah mewah dengan halaman yang luas. Lampu-lampu terang menerangi membuat rumah mewah itu terlihat begitu kontras dengan rumah-rumah reyot di sekelilingnya. Tampak orang-orang terlihat sibuk menata tenda dan hiasan bunga-bunga imitasi. Matanya juga menangkap sosok lelaki tua berusia 45 tahun tengah berdiri di samping sebuah tenda. Meski Kartika ada di atas bukit, tapi ia dapat melihat raut gembira yang tergambar di wajah lelaki tua itu. Ia kembali memalingkan wajahnya pada handphone yang ia genggam. Jempolnya masih menempel pada tombol ‘panggil’. Sambil memejamkan mata, ia menekan tombol itu. Tut… tut… 5 detik berlalu, tak ada jawaban. 10 detik. 15 detik. Kartika menggigit bibir bawahnya. 20 detik. “Asalamualaikum,” sapa orang di seberang. Butuh beberapa detik untuk Kartika mengumpulkan kesadarannya. Ia mengerjap sebentar. Menghela nafas panjang. “Halo?” “Wa’alaikumussalam,” suaranya mencicit. “Maaf, dengan siapa?” suara itu terdengar ramah. Mata Kartika mulai berkaca-kaca. Ia kembali menggigit bibirnya. Berusaha kuat-kuat menahan tangisnya agar tak tumpah. “M-mas I-Iqbal… m-maaf…” “Kartika?! Ini kamu, kan? K-kau baik-baik saja?” suara di seberang terdengar begitu bahagia. Seolah baru saja memenangkan hadiah ratusan juta rupiah. Bintang-bintang di langit berkelip-kelip dalam bisu. Perlahan satu persatu mulai meredup. Seolah mereka ikut merasakan sakit yang dirasakan Kartika yang tak tahan lagi menahan tangis. -SELESAI- Lymnea-Kid, 9 September 2011 komen-men komen komeeeennn... :D bagi bagi komen donnkkk... :) terima kasiiihhh....

0 komentar:

Posting Komentar