Pages

SI KECIL ITU... (Special Qurban :D)

Share this history on :

SI KECIL ITU…

Gadis kecil berusia 5 tahun itu berlari-lari kecil menghampiri bunda yang sedang membaca buku sembari duduk di sofa. Mata sipitnya mengerjap-ngerjap menyorotkan binar bahagia. Rambut lurusnya yang pendek bergoyang-goyang saat kaki-kaki kecilnya melangkah. Pipinya yang bulat dan hidungnya yang mancung membuatnya terlihat begitu menggemaskan. Senyumnya terukir sempurna membuatku tak sedikit pun menemukan beban di dalamnya. Majalah anak yang digenggam ditunjukkannya pada bunda.

“Apa, sayang?” tanya bunda lembut. Tangannya meraih gadis kecil itu dalam pangkuannya.

Gadis kecil itu mengutarakan maksudnya pada bunda. Kulirik dari majalah yang kubaca, bunda tampak terkejut dengan apa yang diutarakan gadis itu. Gadis kecil itu mengutarakan maksudnya namun aku tak tahu apa yang dia utarakan. Yang kutahu gadis itu terus menggerak-gerakkan tangannya dengan raut muka senang. Kulihat mata bunda berkaca-kaca. Sesekali beliau mengangguk sambil tersenyum.

Gadis kecil itu melompat-lompat senang. Senyumnya terukir lebar membuat matanya yang sipit hampir tak terlihat. Tangan kecilnya meraih leher bunda dalam pelukannya. Kulihat air mata bunda meleleh pada pipinya.

Aku terus bertanya-tanya apa yang membuat gadis kecil itu terlihat begitu bahagia. Apalagi sampai membuat bunda meneteskan air mata. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu urung kuutarakan. Kuputuskan kembali tenggelam dalam majalah kesukaanku.

Tiba-tiba gadis kecil itu sudah di depanku. Tangan kanannya menyingkapkan majalah yang kubaca dari hadapanku dan meletakkan majalah yang dibawanya pada pangkuanku. Dia terus menunjuk-nunjuk gambar kambing lucu di dalamnya. Tangannya bergerak-gerak dan dapat kulihat dari sorot matanya, dia tampak begitu bahagia. Mungkin sudah kesepuluh kalinya ia menunjuk-nunjuk gambar kambing itu dengan mata berbinar seolah ia ingin menyampaikan maksudnya melalui pandangan matanya.

Aku hanya bisa tersenyum sambil mengangguk meski sebenarnya aku tak paham. Tapi sepertinya gadis ini tidak menangkap ekspresi bingungku. Dia terus saja menggerak-gerakkan tangannya. Kutolehkan pandanganku pada bunda yang sedari tadi mengamati kami. Bunda menatapku lembut. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata, bunda seperti tahu arti tolehanku.

“Naila pengen punya kambing, Kakak! Untuk dikurbankan saat Idul Adha nanti.”

Naila mengangguk-angguk lucu. Matanya berkali-kali mengerjap-ngerjap. Aku menatap mata sipitnya lekat-lekat. Sinar-sinar bahagia itu tak henti-hentinya memancar dari mata sipit itu. Seolah sinar itu ikut masuk ke dalam diriku melalui mataku. Ion-ion bahagia mengalir bersama darah di sepanjang pembuluh darahku. Terus mengalir sampai otak dan meninggalkan molekul positif di dalamnya. Molekul-molekul itu membuat otakku bekerja sempurna dan mengirimkan pesan pada otot-otot di rahangku untuk berkontraksi. Dan seulas senyum pun terukir di wajah tirusku.

Naila tersenyum lebar begitu melihat senyumku. Seolah-olah dia dapat membaca makna yang terselip dari senyumku. Tak dapat membendung kebahagiaannya, dia merengkuh pundakku dengan sayang.

***

Naila terlihat sering tersenyum dan tertawa semenjak ayah dan bunda membelikannya seekor kambing. Tak pernah absen ia menggembalakan kambingnya di lapangan di desa kami. Sebenarnya Naila sering mengajakku untuk menggembalakan kambingnya. Tapi, bunda hanya mengizinkanku menemani Naila ketika hari Minggu karena setiap sepulang sekolah aku harus membantu bunda memasak. Bunda memang membuka jasa katering di rumah. Jika sedang tidak bersamaku, Naila sering ditemani Pak Rasid, tetangga sebelah, yang juga sering menggembalakan kambing-kambingnya.

Naila terlihat begitu bersemangat merawat kambing itu. Bahkan dia begitu menyayangi kambing yang nantinya akan dikurbankan. Entah apa yang membuat gadis kecil berusia 5 tahun itu memikirkan soal kurban, bahkan berinisiatif untuk menyumbangkan hewan kurban. Dan dia juga tak pernah sekalipun terlihat bosan setelah seharian menggembalakan kambingnya. Bahkan tawaran bunda untuk makan siang pun tak digubrisnya. Satu hal yang kuketahui lagi dari adikku, dia memang istimewa.

***

Tanggal 10 Dzulhijjah yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha tinggal dua hari lagi. Belakangan ini Naila terlihat semakin semangat menggembalakan kambingnya. Dan kuperhatikan, tubuh dari kambing terlihat lebih gemuk daripada ketika awal kambing itu diantar di rumah. Saking semangatnya, Naila pernah berpikiran untuk memandikan kambingnya. Sebelumnya ia bertanya pada setiap orang di rumah, “Kenapa kambing bau?”. Menurut Naila, kambing yang nantinya akan disembelih, harusnya bertubuh wangi. Tapi idenya untuk memandikan kambingnya langsung ditolak oleh bunda dan ayah. Hihi… aku tertawa geli saat Naila menyampaikan idenya.

Siang itu, saat aku sedang membantu bunda membuat pesanan, tiba-tiba Hamzah, putra Pak Rasid, datang ke rumah kami. Nafasnya tersendat-sendat begitu sampai di rumah. Aku hampir saja tertawa melihat tingkah teman sekelasku itu, jika saja ia tak menyebut-nyebut nama Naila.

“Naila kecelakaan?!” seru bunda begitu Hamzah selesai berkata.

Hamzah hanya mengangguk. Dia tampak mengatur nafasnya. Aku tercekat mendengar berita itu. piring yang kubawa hampir saja terlepas dari genggamanku jika saja aku tak cepat-cepat sadar. Jantungku berdegup kencang. Rasa khawatir mulai menyergap diriku. Apalagi ketika bunda mulai bersimbah air mata saat mendengar kata yang keluar dari mulut Hamzah. “P-parah…, Bu…”

Tanpa pikir panjang bunda langsung berlari keluar sebelum menarik Hamzah keluar rumah untuk mengantarkan ke tempat Naila berada. Aku mematung untuk beberapa detik. Bayangan Naila tergambar jelas di pikiranku. Senyumnya, tawanya. Rasa khawatir pun semakin kuat berdegup di hatiku. Akhirnya, segera kugerakkan kakiku, mengejar bunda dan Hamzah.

Hamzah membawa kami ke Puskesmas di desa kami. Suasana di sana cukup ramai. Kutangkap ekspresi-ekspresi yang sulit kucerna maksudnya dari wajah tetanggaku. Bunda menerobos masuk ke dalam ruangan. Aku berlari-lari kecil menyusulnya. Bau obat-obatan mulai menusuk hidungku.

Kaki bunda menapak lantai sebuah ruangan berukuran 3 x 3 m. Kulihat seorang anak kecil terbaring tak berdaya di ranjang dengan biru laut. Di keningnya mengalir darah segar sehingga menutupi hampir sepertiga bagian wajahnya. Kerudung yang menutupi kepalanya hampir tidak terlihat lagi warna aslinya karena terkena warna merah darah. Di sekujur tubuhnya, tampak barutan-barutan dan darah-darah yang tak sedikit.

“Ya Allah… Nailaa!!!” pekik bunda. Tangannya langsung merengkuh tubuh Naila yang tak bergerak.

Langkahku terhenti tepat di belakang bunda. Mendengar jeritan bunda, aku tak berani mendekat. Ya, Allah… Selamatkan adikku…

***

“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar,…”

Gema takbir berkumandang dari masjid di desaku. Halaman depan masjid Ar Rahman di penuhi oleh warga desa. Tenda-tenda terpasang di halaman. Tampak beberapa orang sibuk menyiapkan beberapa bambu dan tali. Ada juga yang tengah memotong daun pisang di samping masjid. Anak-anak yang rata-rata adalah teman sekolahku banyak mengerubungi kambing-kambing dan sapi. Beberapa di antara mereka mengulurkan setangkai daun hendak memberikan makan seekor kambing yang di lehernya dikalungkan sebuah papan nama dari penyumbang hewan kurban. Ibu-ibu tampak sibuk membawa panci besar dan beberapa peralatan memasak lainnya di rumah Pak Ali yang letaknya tepat di samping masjid.

Kulihat bapak Hamzah membuat sebuah lubang di halaman samping masjid yang cukup luas. Tak lama kemudian, seekor kambing digiring menuju lubang tersebut. Kulihat di papan nama yang dikalungkan di leher kambing itu. Aku sedikit tersentak. Tertera di situ nama adikku, NAILA.

Naila, andai kau ada di sini sekarang. Kakak yakin kau pasti menjadi seorang anak yang paling bersemangat menyambut hari raya ini.

Kambing Naila ditidurkan di atas lubang yang dibuat tadi. Suara gema takbir terus berkumandang. Beberapa orang mulai memegangi kaki-kaki kambing Naila yang terlihat gemuk dan sehat.

Naila, apa kau sekarang menyaksikan dari atas sana? Lihat! Kambingmu sebentar lagi akan disembelih. Usahamu menggembalakannya memang tak sia-sia, Nai. Tadi sempat kakak dengar ada yang memuji kambingmu karena terlihat paling gemuk dan sehat.

Mulutku pelan melantunkan takbir saat parang itu mulai memotong leher kambing Naila. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku adalah seorang anak perempuan berusia 10 tahun. Sekarang aku duduk di bangku kelas 5 SD, sedangkan Naila adikku, dia masih TK. Sebenarnya aku adalah kakak angkat dari Naila. Bunda dan ayah mengadopsiku dari sebuah panti asuhan di kota. Sejak dari kecil aku tidak pernah mengenal siapa orang tua kandungku. Yang kutahu dari Bunda Dina, yang mengurus panti, ayah dan ibu kandungku selalu tersenyum di surga setiap melihatku berbuat kebaikan. Sebenarnya aku pernah mendengar Bunda Dina berbicara dengan Bunda Husna dan Ayah Hasan, orang tuaku sekarang, tentang orang tuaku. Menurut apa yang dituturkan Bunda Dina, ayah dan ibuku meninggal dalam sebuah kecelakaan bus ketika sedang dalam perjalanan keluar kota. Aku satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan itu. Karena ayah dan bundaku sudah tidak memiliki keluarga lagi dan tidak ada yang bisa mengurusku, maka aku pun dikirim ke panti asuhan. Saat itu usiaku masih 10 bulan. Meski tak pernah bertemu orang tua kandungku, Bunda Dina mengajariku bagaimana caranya agar aku tetap bisa berbakti pada mereka. Setiap shalat, tak pernah aku lalai untuk mendoakan kebahagiaan ayah dan ibu di sana. Meski tak pernah tahu wajah ayah dan ibuku, aku harap di akhirat nanti Allah mempertemukanku dengan mereka.

Semenjak aku menjadi bagian dari keluarga Ayah Hasan dan Bunda Husna, kerinduanku akan kasih sayang seorang ayah dan ibu sedikit terobati. Ayah Hasan dan Bunda Husna sangat menyayangiku. Meski dia memiliki seorang anak kandung yang masih kecil, Naila, tapi mereka dapat berlaku adil terhadapku dan Naila meski aku tidak lahir dari rahim Bunda Husna.

Aku senang memiliki seorang adik seperti Naila, meski baru sekitar dua bulan aku menjadi bagian dari keluarga ini. Naila adalah seorang gadis kecil yang lucu dan menggemaskan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang sering ia utarakan. Pertanyaan-pertanyaan itu terkadang membuat ayah, bunda dan orang lain kewalahan. Tapi, tingkahnya yang lucu membuat setiap orang tak sedikit pun rela memarahinya.

Menurutku Naila seorang anak yang cerdas. Dia dengan mudah dapat mencerna setiap hal baru yang ia dapatkan. Meski terkadang ia kesulitan untuk membuat seseorang paham dengan apa yang ia maksud, tapi tak menyiutkan semangatnya untuk terus belajar. Aku benar-benar bangga menjadi kakaknya meski faktanya aku bukan kakak kandungnya. Terkadang aku juga masih sering salah paham dengan apa yang ia maksud.

Aku yakin, jika saja Allah memberikan Naila umur panjang, maka ia akan tumbuh menjadi seorang gadis muslim yang baik budi pekertinya dan cantik fisik maupun hatinya. Lihat saja, di usianya yang masih tergolong kanak-kanak, dia sudah berinisiatif untuk berkurban. Dia juga sering membantu orang lain, terutama anggota keluarganya.

Ya, Naila adalah adikku. Kau tahu, kepergian Naila membuatku menyadari sesuatu. Seharusnya kakak lebih semangat belajar bahasa isyarat pada bunda agar kakak bisa lebih mudah berkomunikasi denganmu selama dua bulan terakhir ini, tanpa meminta tolong bunda untuk menerjemahkannya.

Naila, anak perempuan yang tak pernah minder dengan kekurangannya itu adalah adikku. Naila, anak perempuan yang sudah bisu sejak lahir itu adalah adikku.

***

Keyongan Kidul, 4 November 2011
Asalamualaikum... Alhamdulillah akhirnya cerpenku yang ini bisa selesai juga :D Soalnya kebanyakan cuma berhenti di tengah jalan -,-".. well-e-well (?), tema di atas emang kudapat dari hari raya Idul Adha tahun ini. :D hyaha... gimana? Aku yakin masih ada yang "aneh". Jadi, mohon kritik dan sarannya ya :) Thank you for reading ^^ wasalamualaikum...

0 komentar:

Posting Komentar