Pages

SPECIAL TEXT FOR NATURE

Share this history on :
Kali ini biarkan aku berbagi tentang sebuah kisah nyata. Kisah nyata yang kuambil dari potongan kehidupanku yang lalu. Sebuah kisah nyata yang kuharap dapat menghasilkan beberapa buah hikmah dan pelajaran. Karena itu, biarkan aku bercerita. Bercerita tentang kisahku. Kehidupanku. Masa laluku. Jika kau malas membaca, tinggalkan saja note ini. Kembalilah ke beranda atau profil anda. Silakan berkelana di dunia maya.
Baiklah, aku akan memulai bercerita.
Kisah ini akan aku mulai dengan 'nama'. Nama. Setiap orang memiliki nama. Orang tua yang baik, orang tua yang peduli akan masa depan anaknya, pastinya akan menyelipkan doa mereka dalam nama anaknya. Berharap pada Sang Kuasa untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan pada anak2nya.
Aku kecil (entah umur berapa saat itu) sering bertanya-tanya dalam hati apa arti namaku. Oke aku tahu arti tiga kata dalam namaku. Tapi, satu yang tidak kuketahui saat itu. 'Miftahul'. Entah doa apa yang bapak ibu harapkan dari nama itu.
Tetapi, seiring waktu yang terus mengayuh sepeda kehidupan, aku mulai mengetahui. Kunci kehidupan.
Aku tidak tahu kenapa orang tuaku menyelipkan kedua kata itu dalam namaku. Mungkinkah karena bapak yang sekolah di jurusan yang berembel-embel 'lingkungan'? Atau mungkin ada hubungannya dengan om-omku yang juga sekolah di jurusan 'alam'? Atau mungkinkah karena nenekku yang suka sekali berkebun? Entahlah. Aku tak tahu.
Yang aku tahu dan sadari. Sejak kecil aku selalu suka dengan alam. Rimbun pohon yang menyejukkan dengan dahan-dahannya yang lihai menari-nari bersama angin. Pesona kaum gunung yang berdiri gagah seolah hendak menggapai langit. Riang burung-burung kecil berterbangan seolah bangga mereka bisa terbang sedang yang lain tidak. Bintang-bintang yang teratur membentuk formasi. Rembulan yang elok bergelantungan di langit menawan hati. Alam. Aku selalu suka alam.
Masa kecilku kuhabiskan waktu mainku dengan berpetualang. Beruntung aku yang tinggal di daerah pedesaan (sekaligus pegunungan), sehingga memudahkanku dalam berinteraksi langsung dengan alam. Mendaki gunung, melewati semak-semak yang dapat membuat kulit gatal-gatal, memetik buah-buahan, merasakan dinginnya air pegunungan, bermain dengan ikan-ikan kecil, menyelamatkan kucing terlantar, dll. Semua terasa amat menyenangkan. Apalagi bersama sahabat-sahabat hebatku yang selalu membuat suasana menjadi lebih menyenangkan.
Hingga suatu waktu ketika aku masih duduk di bangku SD (sekitar kelas 5-6), isu Global Warming meracuni otak-otak kami. Di mata kami, Global Warming adalah monster paling menakutkan kala itu. Kami selalu terbayang-bayang dengan bayangan-bayangan buruk itu. Pohon-pohon yang hilang, burung-burung kecil yang berterbangan ketakutan dan kebingungan, es kutub yang mencair, meningginya permukaan air laut, lapisan ozon yang berlubang, panasnya terik matahari yang mampu membakar kulit. Bayangan itu teramat menakutkan bagi kami. Apalagi di tambah dengan pohon-pohon di pegunungan sekitar kami banyak ditebangi.
Hingga akhirnya, aku dan sahabat-sahabatku memutuskan membuat sebuah klub pecinta alam. THE GREENERS GIRLS. Anggota kami memang tidak banyak. Hanya sekitar 4 orang ditambah 1 adik perempuanku dan 1 adik sahabatku (lucunya dia laki-laki). Tapi tekad kami untuk menyelamatkan lingkungan sudah bulat. Kami menyebar selebaran tentang dampak negatif dari Global Warming dan bagaimana mencegahnya. Selebaran itu kami ketik sendiri, cetak sendiri, dan kami sebar sendiri. Selepas shalat subuh di masjid (seingatku itu subuh), berbekal beberapa lembar kertas dan lem kertas seadanya, kami mulai menempelkan kertas itu. Di pasar, di dinding-dinging ruko, dan di tugu desa. Nasib sial kami, saat itu seekor anjing liar mengintai kami. Lantas dengan insting waspadanya, ia mengejar-ngejar kami subuh itu. Itu adalah sebuah kejadian yang menegangkan ketika dialami, tetapi menyenangkan ketika dikenang.
Selepas dengan selebaran2 itu, The Greeners Girls kembali beraksi. Kali ini, kami gemas dengan tingkah penduduk yang menebangi pohon. Terutama pohon minyak kayu putih. Kami berinisiatif untuk membuat sebuah papan dengan tulisan semacam 'Dilarang Menebangi Pohon'. Tapi, yah maklumlah kami masih anak kecil waktu itu. Apa yang kami lihat hanya dicerna secara mentah. Kami hanya melihat bahwa penduduk menebangi pohon dan itu jelas-jelas merusak lingkungan. Mengurangi suplai oksigen utk makhluk hidup. Kami seenaknya saja hendak melarang orang menebang pohon. Padahal, hei, pohon-pohon itu milik mereka! Mereka menebangi pohon itu tentu ada alasannya. Entah itu hendak menggunakan kayunya, kemudian menjualnya, atau apalah. Pohon minyak kayu putih itu. Kami lupa satu poin penting. Mereka memangkas daun-daun minyak kayu putih itu karena daun-daun itu hendak mereka manfaatkan. Lagipula, tak lama kemudian daun-daun muda akan muncul. Kami terlalu bersemangat menyelamatkan bumi waktu itu. Hingga lupa poin2 penting yang tersembunyi.
Tapi, setidaknya, dari kisah kecil kami, aku masih dapat mengambil sebuah pelajaran. Bahwa alam ini adalah anugrah dari Sang Pencipta. Alam ini adalah fasilitas termewah dari yang paling mewah yang Allah berikan untuk kita. Alam ini adalah penunjang hidup kita di bumi. Air yang mengalir tak pernah habis meski setiap hari kita menggunakannya, udara yang kita hirup tak sedikitpun berkurang, segar dedaunan tidak pernah musnah meski tiap hari kita memakannya. Allah teramat sangat baik terhadap kita.
Karenanya, Allah ingin manusia yang diberi amanah sebagai pemimpin di dunia ini, menjaga dan merawat fasilitas dari-Nya. Apa susahnya membuang sampah pada tempatnya? Apa susahnya memadamkan lampu ketika tidak digunakan? Apa susahnya menghemat air yang ada? Apa susahnya merawat dan menjaga hijau-hijauan itu tetap hidup? Mereka diciptakan untuk menunjang kehidupan kita. Lalu, kita hendak membunuhnya begitu saja?
Karena itu, marilah saudara2ku, kita sejenak merenung. Betapa cantiknya alam yang diberi oleh-Nya. Betapa besarnya karunia Allah yang dilimpahkan pada kita. Sedang tugas kita mudah, menggunakannya dengan bijak dan menjaganya tetap berdenyut.
Okelah, barangkali ada yg pernah mendengar bahwa Global Warming hanyalah sebuah akalan suatu kelompok orang yang suka membuat gaduh makhluk di bumi. Membuatnya seolah-olah itu nyata dengan menunjukkan fakta-fakta yang diotak-atik akal bulus mereka. Tapi, apapun isu yang tersebar. Salah atau benar isu itu, menjaga dan merawat lingkungan sekitar adalah kewajiban setiap manusia.
Kau tau, saudaraku? Orang-orang di kota besar sana. Yang kesehariannya berenang di kolam kepulan asap menyesakkan, suara-suara klakson kendaraan yang bersahutan memekakkan telinga, bau-bau tak sedap yang menusuk rongga hidung, cahaya-cahaya yang menyilaukan mata. Mereka pasti dan akan selalu merindukan asrinya alam. Meski di kantor atau rumah mereka terpasang AC yang tak henti membuat dingin udara. Tetap saja, sepoinya angin tak ada tandingannya. Meski di kota gemerlap lampu warna-warni begitu menawan hati. Tetap saja, jutaan kedipan genit bintang-bintang tak ada yang mampu menyaingi.
Alam adalah obat kala pikiran penat. Alam adalah penyejuk alami bagi hati. Alam adalah nafas kehidupan di bumi.
Mari cintai lingkungan sekitar kita :)

Tanjung (Permai), 22 Juli 2012

Apapun bentuk komen/tanggapan/kritikan kalian, saya akan sangat menghargai. Terimakasih banyak atas kesediaan kalian membaca tulisan ini. Semoga bermanfaat :)

0 komentar:

Posting Komentar